Senin, 23 April 2012

Struktur Komunitas Zooplankton Pada Ekosistem Mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara





STRUKTUR KOMUNITAS ZOOPLANKTON      
PADA EKOSISTEM MANGROVE DESA KEDUNG MALANG,
KECAMATAN KEDUNG, KABUPATEN JEPARA 



S K R I P S I


Oleh :
ARIZKA NOVIANTO
K2D 006 021




JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2011

 


STRUKTUR KOMUNITAS ZOOPLANKTON 
PADA EKOSISTEM MANGROVE DESA KEDUNG MALANG,
KECAMATAN KEDUNG, KABUPATEN JEPARA 




Oleh :
ARIZKA NOVIANTO
K2D 006 021




Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Derajat Sarjana S1 Pada Program Studi
Ilmu Kelautan
Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro 





JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2011
 


LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Struktur Komunitas Zooplankton Pada Ekosistem
Mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung,
Kabupaten Jepara
Nama Mahasiswa : Arizka Novianto 
Nomor Induk Mahasiswa : K2D 006 021
Jurusan / Program Studi : Ilmu Kelautan / Ilmu Kelautan



Mengesahkan,


 Pembimbing Utama,






Dr. Rudhi Pribadi
NIP. 19641120 199103 1 001  
Pembimbing Anggota,






Ir. Hadi Endrawati, DESU
 NIP. 19600707 199003 2 001






Dekan Ketua 
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Jurusan Ilmu Kelautan 
Universitas Diponegoro 






Prof. Dr.Ir. Johannes Hutabarat, M.Sc. Ir. Irwani, M.Phil.
NIP. 19510323 197603 1 001 NIP. 19640424 199103 1 001


 


LEMBAR PENGESAHAN


Judul Skripsi : Struktur Komunitas Zooplankton Pada Ekosistem 
Mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung,
Kabupaten Jepara
Nama Mahasiswa : Arizka Novianto
Nomor Induk Mahasiswa : K2D 006 021
Jurusan / Program Studi : Ilmu Kelautan / Ilmu Kelautan
Skripsi ini telah disidangkan di hadapan Tim Penguji 
pada tanggal : 26 Januari 2011


Penguji 
(Pembimbing Utama)



Dr. Rudhi Pribadi.
NIP. 19641120 199103 1 001  


Penguji
(Pembimbing Anggota)





Ir. Hadi Endrawati, DESU
     NIP. 19600707 199003 2 001

Penguji                                
(Penguji Utama)




Ir.Ria Azizah TN, M.Si.
NIP. 19620228 198703 2 003
.  Penguji                               
(Penguji Anggota)




Ir. R. Ario, M.Sc.
NIP.19600105 198703 1 002
Penguji
(Penguji Anggota)




Dra. Ken Suwartimah
NIP.19520426 198703 2 001


Panitia Ujian Akhir
Ketua




                     Dr. Rudhi Pribadi.
                     NIP. 19641120 199103 1 001  


 


PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH


 
Dengan ini saya, Arizka Novianto  menyatakan bahwa Karya/Skripsi ini
adalah asli karya saya sendiri dan Karya  Ilmiah ini belum pernah diajukan sebagai
pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan strata satu (S1) dari
Universitas Diponegoro maupun Perguruan Tinggi lain.
 Semua informasi yang dimuat dalam Karya Ilmiah ini berasal dari penulis lain
baik yang dipublikasikan atau telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama
sumber secara benar dan semua isi dari Karya Ilmiah/Skripsi ini sepenuhnya menjadi
tanggung jawab saya sebagai penulis.    






 Semarang,  Januari 2011
 Penulis


 Arizka Novianto
 NIM K2D 006 021
       



 


RINGKASAN

Arizka Novianto. K2D006021.   Struktur Komunitas Zooplankton Pada Ekosistem
Mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara.                   
( Pembimbing : Rudhi Pribadi  dan  Hadi Endrawati).


Sebagaimana daerah pesisir di pantai utara Jawa, kawasan ekosistem mangrove
di Kedung Malang sudah mengalami kerusakan. Kerusakan kawasan ini dikarenakan
khususnya oleh adanya alih fungsi dari ekosistem mangrove menjadi daerah
pertambakan. Peralihan fungsi ekosistem mangrove menjadi pertambakan
diperkirakan menyebabkan perubahan  kondisi lingkungan yang akan berakibat
kepada berubahnya sistem produkvitas perairan dan berakibat pula terhadap jumlah
dan jenis zooplankton di kawasan tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
struktur komunitas zooplankton yang hidup di ekosistem mangrove desa Kedung
Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara.
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kedung Malang Kecamatan Kedung,
Jepara pada bulan April sampai dengan Agustus tahun 2009. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif eksploratif dengan pengambilan data menggunakan
metode survey contoh dan penentuan  daerah penelitian menggunakan metode
pertimbangan (purposive sampling). Lokasi pengambilan sampel dibagi menjadi tiga
stasiun. Stasiun I mewakili ekosistem mangrove  Rhizophora mucronata kerapatan
rendah, Stasiun II ekosistem mangrove  Rhizophora mucronata dengan kerapatan
rendah yang berasosiasi dengan rumput  Cyperus sp, dan Stasiun III vegetasi
mangrove  Rhizophora mucronata kerapatan tinggi. Pengambilan sampel dilakukan
selama 4 kali dengan selang waktu dua minggu sekali masing–masing dengan
pengulangan tiga kali menggunakan  plankton net dengan  mesh size 100 µm dan
dilakukan secara pasif.
Hasil penelitian ditemukan 11 genus dari 2 Filum zooplankton yaitu
Arthropoda   (10 genus) dan Moluska (1 genus). Secara umum genus yang sering
ditemukan di Kedung Malang adalah genus  Acartia. Kelimpahan berkisar antara
126638-159833 ind./l dan yang tertinggi terdapat pada Stasiun 3. Untuk Indeks
Keanekaragaman berkisar antara 1,33-1,97 sehingga termasuk kategori rendah. Nilai
Indeks Keseragaman berkisar antara  0,71-0,94 masuk dalam kategori tinggi dan
Indeks Dominansi bernilai antara 0,07–0,28 yang menyebabkan tidak ada dominansi.



Kata Kunci  : Ekosistem Mangrove, Struktur Komunitas, Zooplankton  


SUMMARY

Arizka Novianto. K2D006021.  Community Structure of Zooplankton in Mangrove
Ecosystem of Kedung Malang, District Kedung, Jepara. ( Supervisors :   Rudhi
Pribadi  and  Hadi Endrawati).

As commonly happen in the northern coast of Java, mangrove ecosystem of
Kedung Malang, District Kedung, Jepara is degraded due to human activities such as
extensive aquaculture pond construction. This type of land conversion, in most cases,
will lead into environmental changes including nearby coastal waters productivity
which reflected on the number of living phyto and zooplankton. The research was
aimed to investigate the community structure of zooplankton in mangrove ecosystem
of Kedung Malang, District Kedung, Jepara.   

The study was conducted in a mangrove ecosystem of Kedung Malang,
District Kedung, Jepara between April to August 2009. An explorative-descriptive
research method was applied for the study, using sampling survey method for data
collection and purposive sampling method for site selection. There were three station
have been designated i.e.: Station I representing a low density of  Rhizophora
mucronata- dominated vegetation area, Station II  low density of  Rhizophora
mucronata associated with  Cyperus  grasses, and Station III a higher density of
Rhizophora mucronata- dominated vegetation area. Sample was passively collected
using a 100 µm mesh sized planktonet in four sampling periods each with three
sampling replications every two weeks. 

The result showed that at least 11 genera of 2 phylums of zooplankton i.e.:
Arthropoda   (10 genera) and Molusc (1 genus) was collected in the study site, and
Acartia was the most frequently found genus. The zooplankton density was between
126638-159833 ind./l and the most dense was found in Station III. The zooplankton
diversity was low (Diversity Index between 1,33-1,97) but the evenness was high
(Index of Evenness between  0,71-0,94). It seems there was no such genera
domination appeared which reflected on low value of Domination Index (0,07–0,28)

Key Words  : Mangrove Ecosystem, Community Structure, Zooplankton 



 


KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang  Maha Esa
atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga  penulis dapat menyelesaikan penyusunan
laporan skripsi dengan judul “Struktur Komunitas Zooplankton Pada Ekosistem
Mangrove  Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas fitoplankton
yang ada di ekosistem mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung,
Kabupaten Jepara.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1.  Dr. Rudhi Pribadi dan Ir. Hadi Endrawati, DESU selaku dosen pembimbing atas
saran dan bimbingan yang diberikan.
2.  Dr. Ocky Karna Radjasa selaku dosen wali atas segala motivasi dan arahannya
selama perkuliahan.
3.  Kedua orang tua dan seluruh keluarga yang selalu memberikan perhatian dan
memahami serta senantiasa memberikan  bantuan materi dan  spiritual sehingga
segala hambatan dapat dilalui dengan lancar.
4.  Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan penelitian ini yang
tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan penelitian ini masih
sangat jauh dari sempurna, oleh karenanya sumbangan saran dan kritik demi
perbaikan penulisan skripsi ini sangat  penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini
dapat bermanfaat.

    
 Semarang,    Januari 2011


         Penulis
 


DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ............................................. iv
RINGKASAN ........................................................................................................ v
SUMMARY .......................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiii
I. PENDAHULUAN 
1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2. Pendekatan Masalah ............................................................................. 2
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 3
1.4. Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 3
II. TINJUAN PUSTAKA 
2.1.  Mangrove ............................................................................................ 4
2.1.1.  Definisi Mangrove  ................................................................... 4
2.1.2.  Distribusi Mangrove ................................................................. 4
2.1.3.  Fungsi Mangrove ...................................................................... 6
2.1.4.  Komponen Mangrove ............................................................... 7
2.2.  Zooplankton ........................................................................................ 9
2.2.1.  Tinjauan Umum Zooplankton .................................................. 9
2.2.2.  Klasifikasi Zooplankton ......................................................... 12
2.2.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kelimpahan
Zooplankton Klasifikasi Zooplankton ................................... 18
2.2.1.   Zooplankton di Ekosistem Mangrove ................................... 23



 


III.  MATERI DAN METODA 
3.1.  Materi Penelitian ............................................................................... 25
  3.2.  Metode Penelitian ............................................................................. 26
         3.2.1. Metode Penentuan Lokasi Penelitian ...................................... 26
         3.2.2. Metode Pengumpulan Data ..................................................... 27
         3.2.3. Identifikasi Sampel ................................................................. 29
         3.2.4. Pengambilan Data Parameter Lingkungan .............................. 29
 3.3. Analisa Data ....................................................................................... 29
        3.3.1. Kelimpahan Zooplankton ......................................................... 30
        3.3.2. Indeks Keanekaragaman  ......................................................... 30
        3.3.3. Indeks Keseragaman (Evenness Index)  ................................... 31
                   3.3.4. Indeks Dominansi .................................................................... 32 
        3.3.5. Indeks Kesamaan Komunitas ................................................... 32

IV.  HASIL DAN PEMBAHASAN 
4.1. Hasil ................................................................................................... 34
4.1.1.  Komposisi Zooplankton ......................................................... 34
4.1.2.  Kelimpahan Zooplankton ....................................................... 34
4.1.3. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominasi ......... 39
4.1.4.  Indeks Kesamaan Komunitas ................................................. 40
4.1.5.  Nilai Parameter Lingkungan ................................................... 41
4.2.     Pembahasan ............................................................................ 42
4.2.1.  Komposisi Zooplankton ......................................................... 42
4.2.2.  Kelimpahan Zooplankton ....................................................... 44
4.2.3.  Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominasi .......... 46
4.2.1.  Indeks Kesamaan Komunitas Zooplankton ............................ 49


V.  KESIMPULAN DAN SARAN 
5.1.  Kesimpulan ....................................................................................... 51
5.2.  Saran ................................................................................................. 51
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 53
LAMPIRAN ......................................................................................................... 58








 


DAFTAR TABEL
          Hal.

1.  Luasan hutan mangrove di Indonesia .............................................................. 5

2.  Pengelompokkan zooplankton berdasarkan ukurannya ................................. 11

3.  Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian struktur komunitas
zooplankton di ekosistem mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan
Kedung, Kabupaten Jepara ............................................................................ 25

4.  Komposisi genus Zooplankton yang ditemukan selama penelitian pada 
ekosistem mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung,
Kabupaten  Jepara. ......................................................................................... 35

5.  Kelimpahan  rata-rata Zooplankton berdasarkan stasiun dan waktu
pengamatan pada ekosistem mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan
Kedung, Kabupaten Jepara. ........................................................................... 36

6.  Nilai dan kategori Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (e),
Keseragaman (e) dan Indeks Dominasi (C) pada stasiun dan waktu
sampling pada ekosistem mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan
Kedung, Kabupaten Jepara ............................................................................. 39

7.  Indeks Kesamaan Komunitas zooplankton pada stasiun dan waktu
sampling  ....................................................................................................... 40

8.  Nilai rata-rata dan kisaran parameter lingkungan selama penelitian pada
ekosistem mangrove desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten
Jepara .............................................................................................................. 41













 


DAFTAR GAMBAR
      Hal. 

1. Peta lokasi penelitan di ekosistem mangrove Desa Kedung Malang,
Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara .......................................................... 28

2. Grafik kelimpahan rata-rata zooplankton (ind./L) berdasarkan stasiun
pengamatan pada ekosistem mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan
Kedung, Kabupaten Jepara. ............................................................................ 37

3. Grafik kelimpahan rata-rata zooplankton (ind./L) berdasarkan waktu
pengamatan pada ekosistem mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan
Kedung, Kabupaten Jepara ............................................................................. 38





























 


DAFTAR LAMPIRAN
        Hal. 
1. Kelimpahan rata-rata zooplankton (ind/L) pada Stasiun 1 di ekosistem
mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara. ...... 54

2. Kelimpahan rata-rata zooplankton (ind/L) pada Stasiun 2 di ekosistem
mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara. ...... 60

3. Kelimpahan rata-rata zooplankton (ind/L) pada Stasiun 3 di ekosistem
mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara. ...... 61

4. Gambaran secara umum lokasi penelitian pada ekosistem mangrove Desa
Kedung Malang, Kecamatan, Kedung, Kabupaten Jepara. ............................... 62

5. Foto kegiatan penelitian struktur komunitas zooplankton di ekosistem
mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara. ...... 63

6. Beberapa genus zooplankton yang ditemukan di ekosistem mangrove Desa
Kedung Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara ................................. 64

7. Data pasang dan surut Kabupaten Jepara bulan Mei dan Juni 2009. ................ 66

8.  Data curah hujan Kabupaten Jepara bulan Mei dan Juni 2009 ......................... 67

9. Kelimpahan rata-rata fitoplankton (ind/L) pada Stasiun 1 di ekosistem
mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara. ...... 68

10. Kelimpahan rata-rata fitoplankton (ind/L) pada Stasiun 2 di ekosistem
mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten
Jepara………… ................................................................................................ 69

11. Kelimpahan rata-rata fitoplankton (ind/L) pada Stasiun 3 di ekosistem
mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara. ...... 70










 


I .  PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan
suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-
pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh
dalam perairan asin (Nybakken ,1992). Hutan mangrove memiliki peran yang penting
baik secara fisik, ekologi dan ekonomi. Peran hutan mangrove secara fisik antara lain
sebagai penahan gelombang, penahan angin, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi
air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Secara ekologis hutan mangrove
berperan sebagai tempat pemijahan (spawning ground), tempat pembesaran (nursery
ground), dan mencari makan (feeding ground) bagi berbagai jenis hewan seperti ikan,
udang, kepiting, moluska, reptilia, mamalia dan burung. Secara ekonomi peranan
hutan mangrove  sebagai sumber bahan bakar (kayu arang), bahan bangunan, bahan
industri kertas, makanan dan obat-obatan serta konversi mangrove menjadi tambak
untuk tujuan komersial  (Nontji, 1993; Nybakken, 1992, Pramudji, 2001; Gunarto
2004).
Sebagai suatu ekosistem, hutan mangrove terdiri dari komponen biotik dan
abiotik. Komponen abiotik yang mempengaruhi ekosistem mangrove antara lain :
suhu, arus dan pasang surut, kedalaman, salinitas, pH, DO, kecerahan, dan bahan
nutrien yang tersedia. Secara  biotik komponen mangrove terdiri dari 2 kelompok
besar yaitu flora dan fauna termasuk didalamnya kelompok mikroorganisme yang
salah satunya adalah zooplankton (Hogarth, 2007).  


Zooplankton merupakan biota yang berperanan penting terhadap produktivitas
sekunder, karena berperan sebagai  penghubung produsen primer dengan konsumen
yang lebih tinggi ( Arinardi  et. al, 1996 ). Zooplankton merupakan konsumen
pertama dalam perairan yang memanfaatkan produsen primer yaitu fitoplankton.
Keberadaan zooplankton pada suatu perairan dapat digunakan untuk mengetahui
tingkat produktivitas suatu perairan (Odum, 1971; Bougis, 1974; Romimohtarto dan
Juwana, 1998), karena kelimpahan zooplankton pada suatu perairan dapat
menggambarkan jumlah ketersediaan makanan, maupun kapasitas lingkungan/ daya
dukung lingkungan yang dapat menunjang kehidupan biota. Oleh karenanya
perubahan yang terjadi pada suatu wilayah perairan dapat diketahui dengan melihat
perubahan kelimpahan biota zooplankton.

1.2. Pendekatan Masalah
Wilayah Kedung Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara, merupakan
daerah pantai yang banyak di dominansi oleh ekosistem mangrove. Sebagaimana
daerah pesisir di pantai utara Jawa, kawasan ekosistem mangrove di Kedung Malang
sudah mengalami kerusakan. Kerusakan kawasan ini dikarenakan khususnya oleh
adanya alih fungsi dari ekosistem mangrove menjadi daerah pertambakan. Peralihan
fungsi ekosistem mangrove menjadi pertambakan diperkirakan menyebabkan
perubahan kondisi lingkungan yang akan berakibat kepada berubahnya sistem
produkvitas perairan dan berakibat pula terhadap jumlah dan jenis zooplankton di
kawasan tersebut.  


Mengingat  sangat pentingnya zooplankton bagi kehidupan biota laut yang
hidup di perairan tersebut dan merupakan penghubung produsen primer dengan
tingkat pakan yang lebih tinggi maka perlu dikakukan penelitian tentang struktur
komunitas zooplankton di daerah Kedung Malang.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah  untuk mengetahui struktur komunitas
zooplankton di ekosistem mangrove Kedung Malang Kabupaten Jepara.
Manfaat yang diperoleh melalui penelitian ini yaitu diharapkan dapat
memberikan informasi tentang struktur komunitas zooplankton dan untuk
pengelolaan ekosistem mangrove di masa mendatang mengingat belum adanya
pengelolaan yang baik terhadap ekosistem mangrove di  Desa Kedung Malang,
Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara.

1.4. Waktu dan Tempat Penelitian
  Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga bulan Agustus 2009 di
daerah Muara Sungai Serang yang secara administrasi termasuk daerah Desa Kedung
Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara. Sungai Serang merupakan tanda
pembatas antara dua kabupaten, yaitu Kabupaten Demak dan Kabupaten Jepara.
Identifikasi sampel zooplankton dilakukan  di Laboratorium Jurusan Ilmu Kelautan
UNDIP, Semarang.

 


I.  TINJAUAN PUSTAKA

2.1.  Mangrove
2.1.1. Definisi Mangrove
Secara harfiah kata mangrove menurut Mac Nae (1968), merupakan perpaduan
bahasa Portugis mangue (tumbuhan laut) dan bahasa Inggris grove (semak-belukar),
menjadi  mangrove  yakni semak belukar yang tumbuh  di tepi laut. Dalam bahasa
Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di
daerah pasang surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang
menyusun komunitas tersebut. Ditambahkan pula oleh FAO (1994), bahwa kata
mangrove digunakan baik untuk individu  spesies tumbuhan maupun komunitasnya.
Namun demikian, dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk
menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata mangal  untuk menyatakan
komunitas tumbuhan tersebut. 
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang
digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang
didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang
mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.

2.1.2. Distribusi Mangrove
 Tumbuhan mangrove diperkirakan berasal dari Indo-Malaysia sehingga
menjadi pusat kawasan biodiversitas mangrove dunia. Spesies ini terbawa arus laut
ke seluruh pantai daerah tropis dan subtropis yaitu pada garis lintang 25°LU dan 


25° LS. Dari kawasan Indo-Malaysia, mangrove tersebar ke barat hingga India dan
Afrika Timur, sedangkan ke timur hingga Amerika dan Afrika Barat
(Atlantik). Namun demikian luas  dan keragaman mangrove di daerah
Amerika dan Afrika Barat lebih rendah dibandingkan Asia dan Afrika Timur (Walsh,
1974; Tomlison, 1994). Wilayah Asia Tenggara sedikitnya ditemukan 268 jenis
mangrove yang terdiri dari 129 jenis pohon, 50  jenis herba, 28 jenis perdu, 28 jenis
epifit, 24 jenis paku, 7 jenis palma, 1 jenis pandan dan 1 jenis cycad (Giesen, et al.,
2007).  Menurut Noor et al., (1999), Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia
(3,5 juta ha), Brasil (1,3 juta ha), Nigeria  (1,1 juta ha), Australia (0,97 juta ha) dan
Malaysia (0,64 juta ha). Namun demikian menurut Saputro  et al,  pada tahun 2009
luas hutan mangrove di Indonesia tinggal 3,24 juta ha dan daerah Papua mempunyai
areal terluas yaitu 1,63 juta ha. 
Tabel 1. Luasan Hutan Mangrove di Indonesia
No. Provinsi
Luasan Mangrove
(ha)  No. Provinsi
Luasan Mangrove
(ha)
1
Nanggroe Aceh
Darussalam 22.950,32  17 Nusa Tenggara Barat 11.921,18
2 Sumatera Utara 50.369,79  18 Nusa Tenggara Timur 20.678,45
3 Bengkulu 2.321,87  19 Kalimantan Barat 149.344,19
4 Jambi 12.528,32  20 Kalimantan Tengah 68.132,45
5 Riau 206.292,64  21 Kalimantan Selatan 56.552,06
6 Kepulauan Riau 54.681,92  22 Kalimantan Timur 364.254,99
7 Sumatera Barat 3.002,69   23 Sulawesi Utara 7.348,68
8 Bangka Belitung 64.561,92   24 Gorontalo 12.315,46
9 Sumatera Selatan 149.707,43   25 Sulawesi Tengah 67.320,13
10 Lampung 10.533,68  26 Sulawesi Selatan 12.315,47
11 DKI Jakarta 500,675  27 Sulawesi Tenggara 44.030,34
12 Banten 2.936,19  28 Sulawesi Barat 3.182,20
13 Jawa Barat 7.932,95  29 Maluku Utara 39.659,73
14 Jawa Tengah 4.857,94  30 Maluku  139.090,92
15 Jawa Timur 18.253,87  31 Papua dan Papua Barat 1.634.003,45
16 Bali 1.925,05       
Sumber :  Saputro et al (2009).  


Ekosistem mangrove di Provinsi Jawa Tengah menurut Saputro et al., (2009),
tersebar di empat Kabupaten yaitu Jepara, Rembang, Brebes dan Cilacap dengan 52
jenis mangrove yang telah teridentifikasi. Luasan hutan mangrove di Kabupaten
Cilacap lebih luas dibandingkan kabupaten lainnya yaitu sebesar  4.175 ha.

2.1.3. Fungsi Mangrove 
Ekosistem mangrove mempunyai banyak kegunaan baik secara fisik, ekologi,
sosial-ekonomi dan sosial-budaya. Secara fisik, ekosistem mangrove dapat berfungsi
menjaga garis pantai agar tetap stabil  dan mempercepat perluasan lahan (Gunarto,
2004). Selain itu, mangrove juga dapat berperan untuk menahan intrusi air laut,
fungsi ini sama dengan fungsi hutan yaitu menyimpan air tanah. Kemampuan ini
telah terbukti dari lahan  yang mangrovenya terjaga dengan baik, kondisi air tanah
tidak terintrusi air laut (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008).
Secara ekologis, ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat
tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran
(nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup
di padang lamun ataupun terumbu karang. Ekosistem mangrove merupakan penghasil
detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun
oleh arus laut. Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga
menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari
hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya
(Kaswadji, 1993). 


Secara sosial ekonomis mangrove merupakan penghasil keperluan rumah
tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan), penghasil
keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna),
penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
pariwisata, penelitian, dan pendidikan ( Santoso dan H.W. Arifin, 1998).

2.1.4. Komponen Mangrove
  Sebagai suatu ekosistem, hutan mangrove terdiri dari komponen biotik dan
abiotik. Komponen-komponen ekosistem mangrove bervariasi pada satu area dengan
yang lainnya, keadaan ini terjadi karena adanya interaksi dan respon individu spesies
berupa toleransi fisiologi terhadap faktor – faktor lingkungan. Beberapa komponen
abiotik yang mempengaruhi ekosistem mangrove antara lain: faktor fisik seperti suhu,
arus, pasang surut, salinitas, kecerahan, dan faktor kimia seperti pH, DO, bahan
nutrien. 
Secara  biotik komponen mangrove terdiri dari 2 kelompok besar yaitu  flora /
tumbuhan dan fauna termasuk didalamnya kelompok mikroorganisme (Hogarth,
2007). Di Indonesia diperkirakan terdapat 89 jenis tumbuhan mangrove yang terdiri
dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29  jenis epifit, dan 2
jenis parasit (Nontji, 1987). Sedangkan Khazali    (1999), menyebutkan bahwa
mangrove di Indonesia mempunyai keragaman jenis yang tinggi yaitu memiliki 202
jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis perdu, 44
jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku yang terbagi menjadi 2 kelompok yaitu
mangrove sejati (true mangrove) dan mangrove ikutan (asociate).  


  Tomlinson (1994), mengklasifikasikan vegetasi mangrove menjadi tiga
komponen, yaitu : 
1.  Komponen mangrove mayor, yakni mangrove yang berkemampuan membentuk
tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara
morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas)
terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam
mengontrol garam. Terdiri dari 5 famili dengan 9 genus, yaitu : Avicennia
(Avicenniaceae), Bruguiera (Rhizophoraceae), Ceriops (Rhizophoraceae),
Rhizophora (Rhizophoraceae), Kandelia (Rhizophoraceae), Sonneratia
(Sonneratiaceae), Nypa (Palmae), Lumnitzera (Combretaceae), dan Laguncularia
(Combretaceae). 
2.  Komponen mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu
membentuk tegakan murni. Komponen minor terdiri dari 11 genus dari famili
yang berbeda. Contohnya adalah Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras,
Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia  dan
Pelliciera. 
3.  Komponen asosiasi mangrove, jenis yang tidak tumbuh pada komunitas
mangrove yang sesungguhnya dan dapat tumbuh pada tanah daratan (terrestrial).
Komponen asosiasi terdiri dari 29 famili dengan 40 genus, seperti  Cerbera,
Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dan lain-lain.
Ekosistem mangrove merupakan habitat bagi berbagai fauna, baik fauna khas
mangrove maupun fauna yang berasosiasi dengan mangrove.  Berbagai fauna tersebut 


menjadikan mangrove sebagai tempat tinggal, mencari makan, atau tempat
berkembang biak. 
Fauna mangrove hampir mewakili semua phylum, meliputi protozoa sederhana
sampai burung, reptilia dan mamalia.  Secara garis besar fauna mangrove dapat
dibedakan atas fauna darat (terrestrial), fauna air tawar dan fauna laut.  Fauna darat,
misalnya kera ekor panjang (Macaca spp.), Biawak (Varanus salvator), berbagai
jenis burung, dan lain-lain. Sedangkan fauna laut didominasi oleh Moluska dan
krustasea (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008). 
Mikroorganisme merupakan fauna yang  dapat menguraikan molekul organik
pada ekosistem mangrove yang salah satunya adalah zooplankton. Pada dasarnya
hampir semua fauna akuatik muda yang terdapat pada ekosistem mangrove,
dikategorikan sebagai zooplankton. Usia muda dari fauna akuatik (larva) sebagian
besar berada di ekosistem mangrove dan  larva dikategorikan  sebagai zooplankton,
karena termasuk fauna yang pergerakannya masih dipengaruhi oleh pergerakan air,
sebagaimana pengertian dari plankton itu sendiri (Setyawan et al, 2002). 

2.2. Zooplankton
2.2.1. Tinjauan Umum Zooplankton
Istilah plankton berasal dari kata Yunani yang berarti pengembara. Plankton
hidupnya mengapung atau melayang dan daya geraknya tergantung dari pergerakan
arus atau pergerakan air. Plankton  dibagi dalam dua golongan besar yaitu
fitoplankton (plakton tumbuhan atau nabati) dan zooplankton (plankton hewani)
(Arinardi et. al., 1994). 


Zooplankton atau plankton hewani merupakan suatu organisme yang berukuran
kecil yang hidupnya terombang-ambing oleh arus di lautan bebas yang hidupnya
sebagai hewan. Zooplankton sebenarnya  termasuk golongan hewan perenang aktif,
yang dapat mengadakan migrasi secara vertikal pada beberapa lapisan perairan, tetapi
kekuatan berenang mereka adalh sangat  kecil jika dibandingkan dengan kuatnya
gerakan arus itu sendiri ( Hutabarat dan Evans, 1986).
Berdasarkan siklus hidupnya zooplankton dapat dibedakan menjadi dua
golongan, yaitu sebagai meroplankton dan holoplankton banyak jenis hewan yang
menghabiskan sebagian hidupnya sebagai  plankton, khususnya pada tingkat larva.
Plankton kelompok ini disebut meroplankton atau plankton sementara. Sedangkan
holoplankton atau plankton tetap, yaitu  biota yang sepanjang hidupnya sebagai
plankton. (Raymont, 1983; Omori dan Ikeda, 1984; Arinardi et al.,1994, 1996).
Meroplankton terdiri atas larva dari  Filum Annelida, Moluska, Byrozoa,
Echinodermata, Coelenterata atau planula Cnidaria, berbagai macam Nauplius dan
zoea sebagai Artrhopoda yang hidup di dasar, juga telur dan tahap larva kebanyakan
ikan. Sedangkan yang termasuk holoplankton antara lain : Filum Artrhopoda
terutama Subkelas Copepoda, Chaetognata, Chordata kelas Appendiculata,
Ctenophora, Protozoa, Annelida Ordo Tomopteridae dan sebagian Moluska (Newell
dan Newell, 1977; Raymont, 1983; Omori dan Ikeda, 1984).
Menurut Arinardi et al., (1997), zooplankton dapat dikelompokkan berdasarkan
ukurannya menjadi empat ( Tabel 2).

 


Tabel 2. Pengelompokkan zooplankton berdasarkan ukurannya
No. Kelompok Ukuran Organisme Utama
1 Mikroplankton 20 - 200µm
Ciliata, Foraminifera, nauplius,
rotifera, Copepoda
2 Mesoplankton 200µm - 2 mm Cladocera, Copepoda, dan Larvacea
3 Makroplankton 2 - 20 mm
Pteropoda, Copepoda, Euphasid,
Chaetognatha
4 Mikronekton 20 - 200 mm
Chepalopoda,Euphasid, Sargestid dan
Myctophid
5 Megaloplankton > 20 mm Scyphozoa, Thaliacea
Sumber : Arinardi et al., (1997)
Zooplankton merupakan produsen sekunder sehingga penting dalam jaring-
jaring makanan di suatu perairan. Zooplankton memangsa fitoplankton dimana
fitoplankton itu sendiri memanfaatkan nutrient melalui proses fotosintesis (Kaswadji
et al., 1993). Pada proses selanjutnya zooplankton merupakan makanan alami bagi
larva ikan dan mampu mengantarkan energi ke jenjang tropik  yang lebih tinggi.
Dalam hubungan dengan rantai makanan zooplankton berperan sebagai penghubung
produsen primer dengan tingkat pakan  yang lebih tinggi, sehinnga kelimpahan
zooplankton sering dikaitkan dengan kesuburan peraiaran (Arinardi  et. al., 1994).
Dari berbagai jenis zooplankton hanya ada satu golongan saja yang sangat penting
menurut sudut ekologis yaitu subklas Copepoda (klas Crustacea, filum Arthropoda).
Hewan- hewan kecil ini sangat penting artinya bagi ekonomi ekosistem- ekosistem
bahari karena merupakan herbivora primer dalam laut ( Nybakken, 1992). 
Menurut Nybakken (1992), zooplankton melakukan migrasi vertikal harian
dimana zooplankton bergerak ke arah dasar pada siang hari dan ke permukaan pada 


malam hari. Gerakan tersebut dimaksudkan untuk mencari makanan  yaitu
fitoplankton. Gerakan pada malam hari lebih banyak dilakukan karena adanya variasi
makanan yaitu fitoplankton lebih banyak, selain itu dimungkinkan karena
zooplankton menghindari sinar matahari langsung (Nontji, 1993).

2.2.2. Klasifikasi Zooplankton 
Arinardi  et al., (1994) mengatakan bahwa beberapa filum hewan terwakili di
dalam kelompok zooplankton. Zooplankton terdiri dari beberapa filum hewan antara
lain : filum Protozoa, Cnidaria, Ctenophora, Annelida, Crustacea, Mollusca,
Echinodermata, dan Chordata.

2.2.2.1 Protozoa
Protozoa dibagi dalam 4 kelas yaitu  : Rhizopoda, Ciliata, Flagellata dan
Sporozoa. Kelas Sporozoa tidak ada yang hidup sebagai plankton karena semuanya
merupakan plankton seperti Plasmodium dan Nyzobulus yang hidup dalam tubuh
manusia dan ikan. Mengenai Flagellata, dalam hal ini ”Zooflagellata” yang hidup
sebagai plankton (freeliving) sebetulnya semuanya merupakan tipe holozoik dari alga
yang berflagel seperti Pyrrophyta (Sachlan, 1982).
Beberapa flagelata diklasifikasikan sebagai Fitoflagelata, akan tetapi karena
memiliki sedikit pigmen fotosintesis dan makan dengan cara memangsa maka
dimasukkan ke dalam golongan zooplankton. Jenis ini paling banyak terdapat dalam
peridinia dan paling banyak diketahui adalah Nocticula miliaris dengan  ciri – ciri 


memiliki diameter 200 – 1200 µm damn ditandai dengan flagelum yang panjangnya
sama dengan tubuhnya, jenis ini dapat melakukan bioluminisense (Bougis, 1976).
Cilliata sebagian besar hidup bebas di  air tawar, dan ada hanya beberapa
golongan yang hidup di laut (golongan Tintinnidae). Cilliata ini merupakan
zooplankton sejati di air tawar, tetapi banyak hidup diantara Periphyton atau di dasar
sebagai bentos, dimana terdapat banyak detritus yang membusuk (Sachlan, 1982).
Rhizopoda merupakan zooplankton yang penting di air laut maupun air tawar,
selain itu ia juga penting untuk ilmu Paleontologi dan Geologi. Rhizopoda memiliki
arti kaki- kaki yang bebtuknya seperti akar tumbuh- tumbuhan yang tidak teratur.
Rhizopoda dianggap berasal dari genera-genera alga dari Saprophytic-type seperti
Chloramoeba, Gametamoeba, dan Chrysamoeba. Rhizopora terdiri dari beberapa
ordo:Amoebina, Foraminifera, Radiolaria dan Heliozoa (Sachlan, 1982). Contoh
genus dari filum Protozoa antara lain : Paramecium, Vorticella, Dileptus,
Dinoclonium, dan Rabdonella ( Hutabarat dan Evans, 1986).

2.2.2.2. Cnidaria
 Cnidaria terdiri dari klas Hydrozoa, Scypozoa, dan Anthozoa. Hanya pada kelas
Hydrozoa, dimana Hydra juga termasuk dan terdiri dari spesies-spesies berupa ubur-
ubur kecil yang hidup sebagai plankton (Sachlan, 1982).
Bentuk morfologi Cnidaria terkadang sangat rumit walaupun memiliki struktur
yng sederhana. Cnidaria memiliki 2 lapisan sel, yaitu external dan lapisan internal
yang dipisahkan oleh lapisan gelatin non selular yang disebut mesoglea. Karakteristik 


penting Cnidaria adalah adanya sel penengat (nematocysts) yang menyuntikkan
venum yang dapat melumpuhkan mangsanya (Bougis, 1976).
Termasuk dalam filum Cnidaria yang holoplanktonik ialah ubur-ubur dari kelas
Hydrozoa dan Scypozoa, serta koloni-koloni yang kompleks dan aneh dikenal dengan
nama sifonofora. Ubur-ubur dari kelas  Scypozoa merupakan organisme plankton
terbesar dan kadang-kadang terdapat dalam jumlah besar (Nybakken, 1992). Contoh
genus dari filum Cnidaria antara lain : Obelia, Liriope,  Bougaivillia, Diphyes (
Hutabarat dan Evans, 1986).

2.2.2.3. Ctenophora
 Filum Ctenophora yang secara taksonomi masih dekat dengan Cnidaria
sebagian besar bersifat planktonik. Semua Ctenophora adalah karnivora rakus, yang
menangkap mangsanya dengan tentakel- tentakel yang lengket atau dengan mulutnya
yang sangat lebar. Untuk bergerak dalam air menggunakan deretan- deretan silia yang
besar yang disebut stenes (Nybakken, 1992). Perbedaan Ctenophora dengan Cnidaria
adalah tidak adanya sel penyengat (nematocysts) pada Ctebophora tetapi memiliki sel
pelengket yang disebut coloblast dimana  sel ini dapat melekatkan mangsanya
(Bougis, 1976).
Ctenophora dahulu di masukkan dalam filum Coelenterata tetapi kemudian di
pisahkan, karena tidak mempunyai nematokis dan hanya mempunyai     struktur-
struktur seperti sisir (cteno). Spesies ini sangat transparan dan tidak berwarna
(Sachlan, 1982). Contoh genus dari filum  Ctenophora antara lain : Pleurobrachia,
Velamen, Beroe ( Hutabarat dan Evans, 1986). 


2.2.2.4. Annelida 
Annelida ini cukup banyak terdapat sebagai meroplankton di laut. Di perairan
air tawar jenis Annelida ini hanya terdapat lintah (ordo Hirudinae) dan dapat menjadi
parasit pada ikan-ikan yang dipelihara di kolam. Banyak meroplankton dari Annelida
ini terdapat di pantai-pantai yang subur, seperti halnya meroplankton dari Crustacea.
Larva- larva Annelida bernama trochophore larva, jika baru keluar dari telur,
berbentuk bulat atau oval, besilia dan mempunyai tractus digesvitus agar di lautan
bebas dapat memakan nanoplankton dan detritus yang halus ( Sachlan, 1982).

2.2.2.5. Arthropoda
Menurut Nybakken (1992)  bagian terbesar zooplankton adalah anggota filum
arthropoda. Dari phylum Arthropoda hanya Crustacea yang hidup sebagai plankton
dan merupakan zooplankton terpenting bagi  ikan di perairan air tawar maupun air
laut. Crustacea berarti hewan-hewan yang mempunyai sel yang terdiri dari kitin atau
kapur yang sukar dicerna. Crustacea dapat dibagi menjadi 2 golongan: Entomostracea
atau udang-udangan tingkat rendah dan Malacostracea atau udang-udangan tingkat
tinggi. Sebagian besar dari larva Malacostracea merupakan meroplankton dan
sebagian besar mati sebagai plankton karena di makan oleh spesies hewan yang lebih
besar atau mati karena kekurangan makanan. Entomostracea yang terdiri dari ordo-
ordo Branchiopoda, Ostracoda, Copepoda dan Cirripedia, tidak mempunyai stadium
zoea seperti halnya Malocostracea. Entomostracea yang merupakan zooplankton
ialah Cladocera, Ostracoda dan Copepoda, sedangkan dari Malacostracea hanya 


Mycidacea dan Euphausiacea yang merupakan zooplankton kasar atau
makrozooplankton (Sachlan, 1982).
Salah satu subkelas Crustacea yang penting bagi perairan adalah Copepoda.
Copepoda adalah crustacea holoplanktonik berukuran kecil yang mendominasi
zooplankton di semua laut dan samudera. Pada umumnyacopepoda yang hidfup bebas
berukuran kecil, panjangnya antara satu dan beberapa milimeter. Kedua antenanya
yang paling besar berguna untuk menghambat laju tenggelamnya. Copepoda makan
fitoplankton dengan cara menyaringnya melalui                 rambut–rambut (setae)
halus yang tumbuh di appendiks tertentu yang mengelilingi mulut (maxillae), atau
langsung menangkap fitoplankton dengan apendiksnya (Nybakken, 1992).
Bougis (1974) menjelaskan bahwa copepoda merupakan biota plankton yang
mendominasi jumlah tangkapan zooplankton yang berukuran besar       (2500 µm)
pada suatu perairan dengan kelimpahan mencapai 30% atau lebih sepanjang tahun
dan dapat meningkat sewaktu-waktu selama masa reproduksi.
Copepoda mendominasi populasi zooplankton di perairan laut dengan
persentase berkisar antara 50-80% dari biomassa zooplankton dalam ekosistem laut.
Beberapa diantaranya bersifat herbivor (pemakan fitoplankton) dan membentuk rantai
makanan antara fitoplankton dan ikan. Copepoda merupakan organisme laut yang
sangat beragam dan melimpah, dan merupakan mata rantai yang sangat penting
dalam rantai makanan dan ekonomi lautan  (Wickstead 1976).   Contoh genus dari
Arthropoda antara lain Paracalanus, Pseudocalanus, Acartia, Euchaeta, Calanus,
Oithona, Microsetella (Hutabarat dan Evans, 1986).
 


2.2.2.6. Molluska
Mollusca terdiri dari klas Gastropoda, Pelecypoda (Bivalvea) dan Cephalopoda.
Di periran air tawar, meroplankton dari Gastropoda dan Bivalvea tidak begitu
berperan penting (Sachlan, 1982).
Filum Molluska biasanya terdiri dari hewan-hewan bentik yang lamban.
Namun, terdapat pula bermacam mollusca yang telah mengalami adaptasi khusus
agar dapat hidup sebagai holoplankton. Mollusca planktonik yang telah mengalami
modifikasi tertinggi ialah ptepropoda dan heteropoda.  Kedua kelompok ini secara
taksonomi dekat dengan siput dan termasuk kelas Gastropoda. Ada dua tipe
pteropoda, yang bercangkan (ordo Thecosomata) dan yang  telanjang (ordo
Gymnosomata). Pteropoda bercangkang  adalah pemakan tumbuhan (herbivora),
cangkangnya rapuh dan berenang menggunakan kakinya yang berbentuk sayap.
Pteropoda telanjang dapat berenang lebih cepat daripada yang bercangkang.
Heteropoda adalah karnivora  berukuran besar dengan tubuh seperti agar-agar yang
tembus cahaya (Nybakken, 1992). Contoh genus dari filum Moluska antara lain :
Creseis, Limacina, Cavolina, Diacria, Squid ( Hutabarat dan Evans, 1986).

2.2.2.7. Echinodermata
Phylum Echinodermata hanya larva-larva dari beberapa ordo yang termasuk
meroplankton. Ada larva yang bentuknya seperti larva Chordata, sehingga ada
anggapan bahwa Chordata adalah keturunan Echinodermata. Genus-genus
Echinodermata yang larva-larvanya merupakan meroplankton ialah Bipinaria, 


Brachiolarva dan Auricularia, yang ada pada waktunya akan mengendap semua pada
dasar laut sebagai benthal-fauna (Sachlan, 1982).
Semua Echinodermata melalui fase larva pelagik dalam perkembangannya.
Sama seperi hewan lainnya lamanya menjadi larva pelagik tergantung pada telurnya,
kurang baik atau sudah bagus (Newell dan Newell, 1977). Contoh genus dari filum
Echinodermata antara lain : Echinopluteus, Ophiopluteus, dan Auricularia  
(Hutabarat dan Evans, 1986).

2.2.2.8. Chordata
Chordata termasuk dalam ordo Mamalia,menurut evolusi merupakan keturunan
dari spesies-spesies yang hidup sebagai zooplankton dan bentuknya mirip dengan
larva-larva Echinodermata. Dari 4 subfilum dari Chordata hanya ada 2 yang hidup
sebagai zooplankton yaitu Enteropneusta dan Urochordata. Larva-larva dari
Enteropneusta inilah yang bentuknya seperti larva Echinodermata, seperti Tornaria-
larva (Sachlan, 1982). Contoh genus dari filum Chordata antara lain : Thalia,
Oikopleura, dan Fritillaria (Hutabarat dan Evans, 1986).

2.2.3.  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kelimpahan Zooplankton
Kelimpahan zooplankton pada suatu perairan dipengaruhi oleh faktor-faktor
abiotik yaitu : suhu,  kecerahan, kecepatan arus, salinitas,pH, DO (Kennish, 1990;
Sumich, 1992; Romimohtarto dan Juwana, 1999). Sedangkan faktor biotik yang dapat
mempengaruhi distribusi zooplankton adalah bahan nutrien dan ketersedian makanan
(Kennish, 1990; Sumich, 1992). 


2.2.3.1. Suhu
Suhu perairan mempengaruhi keberadaan zooplankton secara fisiologis dan
ekologis (Kennish, 1990). Secara fisiologis perbedaan suhu perairan sangat
berpengaruh terhadap fekunditas, lama  hidup, dan ukuran dewasa zooplankton.
Secara ekologis perubahan suhu menyebabkan perbedaan komposisi dan kelimpahan
zooplankton.
Suhu mempengaruhi daur hidup organisme dan merupakan faktor pembatas
penyebaran suatu jenis dalam hal ini  mempertahankan kelangsungan hidup,
reproduksi, perkembangan dan kompetisi (Krebs, 1985). Sedangakan menurut Dawes 
(1981) suhu yang baik bagi biota laut untuk hidup normal adalah            20 -35 ºC
dengan fluktuasi tidak lebih dari 5 ºC. Menurut Ray dan Rao (1964) dalam Dawson
(1979) suhu yang baik untuk kelimpahan zooplankton di daerah tropika secara umum
berkisar antara 24˚C - 30˚C.

2.2.3.2. Kecerahan
Definisi dari kecerahan adalah jarak yang bisa ditembus cahaya dalam kolom
air dan kedalaman merupakan fungsi dari kecerahan, sedangkan kekeruhan air adalah
suatu ukuran bias cahaya di dalam air yang menunjukkan derajat kegelapan di dalam
suatu perairan yang disebabkan adanya  partikel- partikel yang hidup maupun yang
mati yang dapat mengurangi transmisi cahaya (APHA, 1995). Semakin besar nilai
kecerahan akan meningkatkan hasil produktifitas primer dalam bentuk biomassa yang
merupakan pendukung utama kehidupan komunitas pada lingkungan tertentu (Tait,
1981). 


2.2.3.3. Arus
Arus merupakan faktor utama yang membatasi penyebaran biota dalam
perairan (Odum, 1971). Arus  laut dapat membawa larva planktonik jauh dari habitat
induknya menuju ke tempat mereka menetap dan berkembang (Jackson, 1986). Pada
daerah mangrove, arus yang disebabkan  pasang surut mempunyai pengaruh nyata
terhadap distribusi plankton. Arus mempunyai arti  penting dalam menentukam
pergerakan dan distribusi plankton pada  suatu perairan.  Arus merupakan sarana
transportasi baku untuk makanan maupun oksigen bagi suatu organisme air (Hawkes,
1978). Pergerakan zooplankton terjadi secara vertikal pada beberapa lapisan perairan,
tetapi kekuatan berenangnya sangat kecil bila dibandingkan dengan kekuatan arus
tersebut (Hutabarat dan Evans, 1986; Nybakken, 1992).

2.2.3.4. Salinitas
Zooplankton memiliki kepekaan yang tinggi terhadap tingkat salinitas pada
perairan di ekosistem mangrove. Tingkat toleransi pada tiap-tiap zooplankton sangat
bervariasi (Kennish, 1990). Salinitas yang ekstrim dapat menghambat  pertumbuhan
dan meningkatkan kematian pada zooplankton (Odum, 1993). Menurut Sachlan
(1982), pada salinitas 0 - 10 ppt hidup plankton air tawar, pada salinitas 10 – 20 ppt
hidup plankton air tawar dan laut, sedangkan pada salinitas yang lebih besar dari 20
ppt hidup plankton air laut.


 


2.2.3.5. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) mempunyai  pengaruh besar terhadap kehidupan
organisme perairan, sehingga sering dipakai untuk menyatakan baik buruknya suatu
perairan. Menurut Raymont (1963), pH dapat mempengaruhi plankton dalam proses
perubahan dalam reaksi fisiologis dari berbagai jaringan maupun pada reaksi enzim.
Tait (1981) menyatakan bahwa kisaran pH optimum bagi pertumbuhan plankton
adalah 5,6-9,4.

2.2.3.6. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut dalah gas untuk respirasi yang sering menjadi faktor pembatas
dalam lingkungan perairan. Ditinjau dari segi ekosistem, kadar oksigen terlarut
menentukan kecepatan metabolisme dan respirasi serta sangat penting bagi
kelangsungan dan pertumbuhan organisme air. Kandungan oksigen terlarut akan
berkurang dengan naiknya suhu dan salinitas (Sachlan, 1982; Nybakken, 1988).
Menurut Raymont (1963), konsentrasi dari oksigen terlarut paling rendah yang
dibutuhkan oleh organisme perairan adalah 1 ppm.

2.2.3.7. Bahan Nutrien
Komponen nutrien utama yang sangat diperlukan dalam menentukan tingkat
kesuburan perairan adalah nitrat dan fosfat. Nitrat (NO3) adalah komponen nitrogen
yang paling melimpah keberadaannya di laut. Nitrogen merupakan bagian esensial
dari seluruh kehidupan karena berfungsi sebagai pembentuk protein dalam jaringan
sehingga aktifitas yang utama seperti fotosintesis dan respirasi tidak dapat 


berlangsung tanpa tersedianya nitrogen yang cukup (Ranoemihardjo dan
Martosoedarmo, 1988).
Proses utama dalam metabolism nitrat adalah penyerapan pada proses
fotosintesa fitoplankton, regenerasi nitrat melalui proses dekomposisi oksida bahan-
bahan organik di bawah permukaan kolom air di permukaan sedimen, juga
denitrifikasi yang terjadi dalam kondisi anaerob (Tait, 1981; Millero dan Sohn, 1992).
 Menurut Vollenweinder  ( 1968) dalam Gunawati (1984)  penentuan tingkat
kesuburan perairan berdasarkan konsentrasi nitrat sebagai berikut :
< 0,226 : kesuburan kurang
0,226 – 1,129 : kesuburan sedang
1,130 – 11,29 : kesuburan tinggi
Zooplankton memperoleh nitrogen organik dan anorganik dari fitoplankton dan
mikroorganisme, kemudian mengekresikan nitrogen organik dalam feses yang akan
mengendap atau menjadi terlarut. Aktivitas mikroorganisme bentik dapat merubah
nitrogen organik menjadi anorganik di dalam sedimen. Bakteri juga berperan dalam
siklus nitrogen yaitu merubah nitrogen organik terlarut menjadi anorganik. (Tait,
1981; Meadows dan Campbell, 1993).
Nutien tidak secara langsung dibutuhkan zooplankton. Fitoplankton
menggunakan nitrat untuk perkembangannya. Perkembangan fitoplankton akan
mempengaruhi pula perkembangan zooplankton, hal ini dikarenakan fitoplankton
adalah makanan utama bagi zooplankton (Wickstead, 1965).
Fosfat  merupakan faktor pembatas bagi produktifitas suatu perairan. Perairan
dengan kandungan fosfat yang tinggi melebihi kebutuhan normal organisme nabati 


yang ada di perairan tersebut, maka akan menyebabkan terjadinya eutofikasi (
Nybakken, 1992). Secara alamiah, fosfor tidak terdapat dalam bentuk bebas namun
dalam bentuk fosfat. Dalam sisitem perairan, fosfat berada dalam bentuk fosfat
terlarut atau fosfat organik yang terkandung dalam biota plankton (Tait, 1981;
Michael, 1994).
 Joshimura (1976)  dalam Wardoyo (1982) menggolongkan tingkat kesuburan
perairan berdasarkan konsentrasi fosfat terlarut sebagai berikut :
< 0,02  : rendah
0,021 – 0,05 : cukup
0,051 – 0,10 : baik

2.2.3.8. Ketersediaan Makanan
Distribusi zooplankton melimpah di perairan berkaitan erat dengan
ketersediaan makanan atau fitoplankton sebagai makanannya ( Meadows dan
Campbell, 1993). Wijayanti  et al. (1995) menambahkan bahwa komposisi dari
komunitas zooplankton bervariasi dari  tahun ke tahun dikarenakan perubahan
makanan dan lingkungan tempat hidupnya. Jenis fitoplankton yang dimakan
zooplankton antara lain Chaeteceros, Skeletonema, Fraggilaria, Oscillatoria,
Ceratium (Soedibjo, 2006).

2.2.4.  Zooplankton di Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove merupakan ekosistem produktif yang mendukung sejumlah
besar kehidupan melalui rantai makanan yang dimulai dari tumbuh-tumbuhan. 


Tanaman mangrove, termasuk bagian batang, akar, dan daun yang berjatuhan
memberikan habitat bagi spesies akuatik yang berasosiasi dengan ekosistem
mangrove. Ekosistem ini berfungsi sebagai  tempat untuk memelihara larva, tempat
bertelur dan tempat pakan bagi berbagai spesies akuatik ( Nontji, 1987 ). 
Pada dasarnya hampir semua fauna akuatik muda yang terdapat pada ekosistem
mangrove, dikategorikan sebagai zooplankton (Setyawan et.al, 2002). Usia muda dari
fauna akuatik (larva) sebagian besar berada di ekosistem mangrove. Zooplanton yang
terdapat di perairan mangrove pada umumnya termasuk dalam copepoda (larva
crustacea), beberapa spesies dapat dijumpai disini karena seperti yang dijelaskan
diatas mangrove merupakan tempat pemijahan (Setyawan et al, 2002). Zooplankton
suka hidup di ekosistem mangrove, hal ini dikarenakan mangrove memiliki beberapa
fungsi ekologis diantaranya daerah tempat pencarian pakan (feeding ground), daerah
asuhan (rearing ground), daerah pemijahan  (spawing ground) dan daerah penetasan
(nursery ground) (Zainuri et. al., 2008).
Hasil penelitian Nugroho (2005), Sembiring (2006),dan Cahyono (2006) di
Segara Anakan Cilacap  menunjukkan  adanya hubungan yang signifikan antara
ekosistem mangrove dengan kelimpahan zooplankton. Selain itu, hasil penelitian dari
Aji (2009) di Teluk awur  Jepara juga menunjukkan bahwa ekosistem mangrove
mempengaruhi kelimpahan zooplankton. Penelitian di Segara Anakan Cilacap
menunjukkan kelimpahan zooplankton tinggi yaitu 158.746 ind./l (Nugroho, 2005),
hal ini diduga karena ekosistem mangrovenya masih dalam kondisi baik.
.
 


III. MATERI DAN METODA

3.1. Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah  zooplankton yang terdapat
pada sampel air yang diambil dari lokasi penelitian di ekosistem mangrove Desa
Kedung Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara berdasarkan stasiun–stasiun
yang telah ditentukan. Pengukuran parameter lingkungan meliputi suhu, salinitas, pH,
oksigen terlarut, nitrat, fosfat,  kecerahan, dan kecepatan arus. Alat dan bahan yang
digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3.   Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian struktur komunitas
zooplankton di ekosistem mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan
Kedung,  Kabupaten Jepara.
No. Alat dan Bahan Kegunaan Ketelitian
1 Planktonet Mengambil sampel 100µm
2 Termometer Mengukur suhu 0,5 ºC
3 pH meter Mengukur pH 
4 Refraktometer Mengukur salinitas 0,01 ppt
5  Sedwick rafter  Mengamati sampel 1 ml
6 Kamera digital Mengambil gambar zooplankton  5 Megapixel
7 GPS  Menentukan Lokasi 
8 Mikroskop Mengamati sampel  Perbesaran 100X
9  Water Quality Cheker  Mengukur parameter air (DO) 
10 Botol sampel Menyimpan sampel 100 ml
11 Bak plastik Untuk Mengambil air  10 liter
12 Pipet tetes Mengambil sampel 
13 Buku identifikasi Mengidentifikasi zooplankton 
14 Alat tulis Mencatat data 
15 Formalin Mengawetkan sampel 4%
16 Kertas label Menandai botol sampel   



 


3.2. Metode Penelitian
 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
eksploratif, dimana metode deskriptif  adalah metode yang berusaha membuat
pencandraan secara sistematis, faktual, dan  akurat terhadap kejadian atau tentang
populasi tertentu pada wilayah dimana  salah satu cirinya adalah membuat
perbandingan dan evaluasi (Suryabrata, 1983). Metode deskriptif digunakan karena
penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan struktur komunitas zooplankton pada
vegetasi mangrove. Sementara itu metode eksploratif adalah metode yang bertujuan
untuk menggali secara luas tentang sebab atau hal yang mempengaruhi terjadinya
sesuatu (Arikunto, 1993). Metode ini dipakai karena penelitian dilakukan untuk
mengetahui struktur komunitas zooplankton pada daerah bervegetasi yang berbeda
tipe dan kerapatannya sesuai dengan apa yang  ada di lokasi penelitian. Data yang
didapatkan berupa data jumlah dan genus zooplankton pada  daerah bervegetasi
mangrove yang berbeda tipe dan kerapatannya. Data yang didapat dideskripsikan
dalam bentuk tabel dan grafik sedangkan  analisa data yang dilakukan meliputi
Kelimpahan, Indeks Keanekaragaman, Indeks Dominasi, dan Indeks Kesamaan
Komunitas.

3.2.1. Metode Penentuan Lokasi Penelitian
 Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling adalah purposive
sampling method  yaitu mengambil beberapa lokasi dengan pertimbangan  keadaan 
lingkungan yang ada di lapangan dengan kelompok kunci yang mewakili keseluruhan
(Hadi, 2004). Penentuan lokasi sampling  menggunakan metode ini karena penelitian 


zooplankton dilakukan untuk mengetahui  struktur komunitas zooplankton di
ekosistem mangrove yang memiliki tipe dan kerapatan yang berbeda-beda, maka
lokasi penelitian dibagi menjadi tiga stasiun ( Stasiun I, Stasiun II, Stasiun III ). 
 Penentuan stasiun dengan pertimbangan bahwa stasiun I merupakan ekosiste
mangrove Rhizophora mucronata   kerapatan rendah dan letaknya dekat dengan laut
kurang lebih 5 meter . Stasiun   II merupakan daerah ekosistem mangrove Rhizophora
mucronata kerapatan rendah yang berasosiasi dengan rumput  (Cyperus  sp.) yang
letaknya lebih dekat dengan sungai kurang lebih 3 meter. Stasiun  III  merupakan
daerah ekosistem mangrove Rhizophora mucronata  kerapatan tinggi yang agak jauh
dari laut dan sungai (Gambar 1).

3.2.2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data zooplankton dalam penelitian ini menggunakan
sample survey method, yaitu metoda pengumpulan data yang mencatat sebagian kecil
populasi atau sample namun hasilnya  diharapkan dapat menggambarkan sifat
populasi dari obyek penelitian (Singarimbun dan Effendi, 1982). Pengambilan sampel
menggunakan sistem pasif (Romimohtarto,  1998) dikarenakan kedalaman setiap
stasiun kurang dari 1 meter sehingga tidak dimungkinkan untuk melakukan
pengambilan sampel dengan metode aktif. Air sampel yang diambil sebanyak 50 liter
menggunakan bak plastik yang memiliki volume 10 liter sebanyak 5 kali. Air disaring
menggunakan planktonnet dengan ukuran mesh size 100 µm dan akan ditampung ke
dalam wadah penampung yang memiliki volume 1 liter. Hasil penyaringan diambil
200 ml untuk dijadikan sampel dan diberi formalin 4% sebanyak 1 ml.  

























Gambar 1.  Peta lokasi penelitian di ekosistem mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan. Kedung, Kabupaten
Jepara

 


3.2.3. Identifikasi Sample
 Identifikasi sampel dilakukan dengan  bantuan  mikroskop perbesaran 100x
dan sedwick rafter yang mempunyai panjang 50 mm, lebar 20 mm, dan tinggi 10 mm
sehingga volumenya 1000mm3
. Sampel  zooplankton diambil dengan  menggunakan
pipet sebanyak 1 ml kemudian dimasukkan ke sedqwick rafter. Sedqwick rafter yang
telah terisi sampel air laut diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali.
Masing-masing sampel setiap stasiun diambil 3 kali untuk diamati. Sampel kemudian
diamati jumlah dan diidentifikasi genusnya. Dengan segala keterbatasan yang ada dan
tingkat ketelitian alat maka identifikasi zooplankton  hanya dilakukan sampai genus.
Identifikasi zooplankton dilakukan dengan mengacu pada Sachlan (1982),  Newell
dan  Newell (1977), Hutabarat dan Evans (1986). 
 
3.2.4. Pengambilan Data Parameter Lingkungan
   Parameter lingkungan yang diukur guna mendukung data penelitian meliputi
kualitas air (suhu, salinitas, nitrat dan fosfat) dan kedalaman. Pengukuran dilakukan
setiap pengambilan sampel. Pengambilan data suhu perairan menggunakan
termometer, salinitas menggunakan refraktometer dan pengambilan data pH dan DO
menggunakan Water Quality Checker. Sedangkan nitrat dan fosfat dianalisakan di
Balai Laboratorium Kesehatan, Semarang. 

3.3. Analisis Data
  Data zooplankton di analisa dengan  menghitung Kelimpahan (K),), Indeks
Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (e), Indeks Dominasi (C), Indeks 


1 1
f v
Kesamaan Komunitas. Karena dalam penelitian unit individu yang terkecil ditetapkan
sebagai genus maka dalam rumus – rumus  analisa ini jenis diasumsikan sebagai
genus. 

3.3.1. Kelimpahan Zooplankton 
Kelimpahan adalah banyaknya organisme per satuan volume atau umumnya
dinyatakan sebagai jumlah individu per liter (Odum, 1993). Kelimpahan zooplankton
per liter dihitung dengan menggunakan rumus Odum (1993) dalam Arinardi  et al.
(1997).
   
K = n x        x
dimana :     K = kelimpahan (ind/ l)
n = jumlah individu dalam satu fraksi
 f = fraksi (2 ml/ 100 ml)
 v = volume air tersaring (l)
 Menurut Goldman dan Horne (1989) dalam Muzakki (2003), kesuburan
perairan berdasarkan kelimpahan zooplankton dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
0 – 2.000 ind./L   : tingkat kesuburan rendah (Oligotrofik) 
 2.000 – 15.000 ind./L  : tingkat kesuburan sedang (Mesotrofik)
> 15.000 ind/L   : tingkat kesuburan  tinggi (Eutrofik)


 



 n=1
3.3.2. Indeks Keanekaragaman
  Indeks Keanekaragaman (H’) adalah karakteristik dari suatu komunitas yang
menggambarkan tingkat keanekaragaman dari organisme yang terdapat dalam
komunitas tersebut (Odum, 1993). Indeks   Keanekaragaman dihitung dengan rumus
Indeks Shannon –Weinner.  Nilai indeks berkisar antara 0-4 dimana makin besar
menunjukkan keanekaragaman yang lebih tinggi. Indeks keanekaragaman dapat
dihitung menggunakan rumus sebagai berikut adalah : 
 H’ = - ∑ pi ln pi

dimana : H’ = indeks keanekaragaman
 pi = ni/N
 ni = jumlah individu dalam satu jenis
 N = jumlah total individu
 Kisaran Indeks Keanekaragaman menurut Prawiradilaga  et al. (2003) yang
mengacu pada Indeks Shannon-Weinner adalah :
0-1  : keanekaragaman sangat rendah
1-2  : keanekaragaman rendah 
2-3  : keanekaragaman sedang
3-4  : keanekaragaman tinggi
4-5  : keanekaragaman sangat tinggi
>5    : keanekaragaman maksimum dari Indeks Shannon-Weinner
 


H’
H maks
3.3.3. Indeks Keseragaman (Evenness Index)
  Indeks Keseragaman digunakan untuk mengetahui keseragaman genus dalam
suatu perairan. Indeks Keseragaman dapat dihitung dengan rumus      Pielou (1996)
dalam Arinardi et al. (1997) 
  
e =   
dimana :  e  = Indeks Keseragaman
 H maks = keanekaragaman jenis pada kondisi kemerataan 
  maksimum = ln s (s = jumlah spesies yang ditemukan)
 H’ = indeks keanekaragaman jenis Shannon-Weinner  
Menurut Krebs (1985), besarnya Indeks Keseragaman suatu populasi berkisar
antara 0 – 1 dengan kriteria sebagai berikut :
0- 0,4  : Keseragaman jenis rendah 
0,4 - 0,6  : Keseragaman jenis sedang
0,6- 1,0    : Keseragaman jenis tinggi 
3.3.4. Indeks Dominansi 
Menurut Odum (1993) Indeks Dominasi adalah angka yang menggambarkan
komposisi jenis organisme suatu komunitas. Semakin besar nilainya bearti semakin
besar pula kecenderungan jenis tertentu mendominasi kelimpahannya. Indeks
Dominasi dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: 
 C =  1 - e
Keterangan : C = Indeks Dominansi
 Ni  = jumlah individu jenis ke – 1 


2C
A + B
 N = jumlah total individu
Kriteria indeks dominasi menurut Krebs (1985) adalah :
< 0,5  : dominasi jenis rendah
0,5 < C < 1 : dominasi jenis sedang
C > 1  : dominasi jenis tinggi 

3.4.5. Indeks Kesamaan komunitas 
  Indeks Kesamaan Komunitas adalah indeks yang digunakan untuk
membandingkan prosentase kesamaan komunitas organisme pada lokasi penelitiaan. 
Indeks ini menggambarkan besarnya nilai kesamaan komunitas antara dua area atau
lokasi yang bebeda. 
 Menurut Odum (1971)  Indeks Kesamaan Komunitas dirumuskan sebagai
berikut : 
     S =               x 100 %
Keterangan : S = indeks kesamaan antara dua lokasi 
 A = jumlah spesies dalam lokasi 1
 B = jumlah spesies dalam lokasi 2
 C = jumlah spesies yang sama dalam lokasi 1 dan 2
Dengan kriteria :
  1 % - 30 % : kategori rendah
  31 % - 60 % : kategori sedang
  61% - 91 % : kategori tinggi
> 91 %  : kategori sangat tinggi 


IV.  HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.  Hasil
4.1.1.   Komposisi Zooplankton 
  Berdasarkan hasil penelitian di kawasan ekosistem mangrove Desa Kedung
Malang Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara  secara keseluruhan ditemukan 11
genus zooplankton yang terdiri dari 2 Filum yaitu Filum Arthropoda yang terdiri dari
: Acartia, Cathocalanus, Euchaeta, Euterpina, Microsetella, Paracalanus, Calanus,
Pseudocalanus, Eucalanus, dan  Isopoda, sedangkan dari Filum Moluska hanya satu
genus yaitu Creseis. Genus yang paling sering ditemukan adalah Acartia,
Paracalanus, dan Isopoda, sedangkan genus yang jarang ditemukan antara lain
Cresies, Pseudocalanus, dan Cathocalanus (Tabel 4).
 Secara umum berdasarkan lokasi pengamatan terdapat variasi, Stasiun 3
memiliki komposisi zooplankton lebih tinggi (9 genus) dibandingkan Stasiun 1  dan
Stasiun 2 (masing-masing 7 dan 6 genus). Stasiun 1 komposisi zooplankton berkisar
antara 6-8 genus, Stasiun 2 berkisar antara 6-7 genus, sementara itu pada Stasiun 3
berkisar antara 8-10 genus, namun tidak  ada variasi yang mencolok antar waktu
pengamatan (Tabel 4). 

4.1.2. Kelimpahan Zooplankton
   Kelimpahan masing-masing genus berdasarkan stasiun dan waktu
pengamatan dapat dilihat pada Tabel 5. Kelimpahan  rata-rata  zooplankton  selama                            


Tabel 4.  Komposisi genus zooplankton yang ditemukan pada masing- masing lokasi dan tanggal selama penelitian di Desa
Kedung     Malang Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara.

No.   Genus Zooplankton
Stasiun I  Stasiun II  Stasiun III
Minggu Minggu Minggu
I II III IV I II III IV I II III IV
   Arhtropoda                         
Crustacea
1 Acartia  + + + + + + + + + + + +
2 Cathocalanus  - - - - + - - - - + - +
3 Calanus + + + - + - - - + + - +
4 Euchaeta  + + + + + + + + + + + +
5 Euterpina  - - - + - + - - + + + -
6 Microsetella  + + + + + - + + + + + +
7 Paracalanus  + + + + - + + + + + + +
8 Pseudocalanus  - + - - - - - + - + + -
9 Eucalanus - + - + + + + + + + + +
10 Isopoda  + + + + + + + + + + + +
Molusca
Gastropoda
11 Creseis - - - - - + - - - - - -
   Jumlah  68 6 776 6 68 10 8 8
  Rata – rata 7 6 9

 


Tabel 5.  Kelimpahan (ind/l) zooplankton yang ditemukan selama penelitian berdasarkan lokasi dan waktu pengambilan sampel di Desa 
Kedung Malang Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara.


No
.      
Genus 
Zooplankton
Stasiun I   Rata-
rata
Stasiun II  Rata-
rata
Stasiun III
Rata-rata
Rata-
rata
Total
16 Mei 30 Mei 13 Juni 27 Juni 16 Mei 30 Mei  13 juni 27 Juni 16 Mei 30 Mei
13
Juni 27 Juni
Arthropoda
1 Acartia  48333 48444 76111 52222 56278 72000 56111 64222 56000 62083 68111 84111 32111 44222 57139 58500
2 Cathocalanus  0 0 0 0 0 8222 0 0 0 2055 0 12000 0 4000 4000 2018
3 Calanus 12222 24222 24222 0 15167 20111 0 0 0 5027 12222 24111 0 12000 12083 10759
4 Euchaeta  8222 12000 20000 20000 15056 8000 12222 0 8000 7055 8000 12222 8000 24111 13083 11731
5 Euterpina  0 0 0 8111 2027 0 8222 0 0 2055 12000 4000 4000 0 5000 3027
6 Microsetella  4222 16222 28111 16222 16194 0 0 20111 12000 8027 24222 20222 12000 28222 21167 15130
7 Paracalanus  8000 20000 20111 16111 16056 0 12111 20111 16111 12083 32000 24222 8000 12333 19139 15759
8 Pseudocalanus  0 12222 0 0 3055 0 0 0 4000 1000 0 4000 4000 0 2000 2018
9 Eucalanus 0 20000 0 16111 9027 8222 12000 24222 8111 13139 16111 12111 12222 12000 13111 11759
10 Isopoda  4111 20111 16000 24222 16111 16000 8000 8000 24000 14000 12000 12000 16222 12222 13111 14407
Molusca  0
11 Creseis 0 0 0 0 0 0 444 0 0 111 0 0 0 0 0 37
   JUMLAH  85110 173221 184555 152999 148943 132555 109110 136666 128222 127082 184666 208999 96555 149110 159860 145147
  Rata - Rata 148943   127082   159860    

 



penelitian  pada  ekosistem mangrove  Desa Kedung Malang, Jepara berdasarkan
stasiun penelitian, menunjukkan bahwa antar stasiun  penelitian tidak  terdapat
perbedaan kelimpahan  yang signifikan. Kelimpahan  tertinggi  terdapat  pada 
Stasiun  3  yaitu  sebesar 159.833 ind./l,  sedangkan untuk Stasiun 1 dan Stasiun 2
berturut-turut sebesar 148.971 ind./l, 126.638 ind./l (Gambar 2). Sementara itu
berdasarkan waktu pengamatan terdapat  perbedaan yang signifikan pada Stasiun 1
dan Stasiun 3. Stasiun 1 kelimpahan berkisar antara 85.110-184.555 ind./l,
kelimpahan tertinggi terdapat pada Minggu  III dan terendah terdapat pada Minggu I.
Stasiun 3 berkisar antara 96.555-208.999 ind./l, kelimpahan tertinggi terdapat pada
Minggu I  dan terendah terdapat pada Minggu III (Gambar 3). 

Gambar 2.  Grafik kelimpahan rata-rata zooplankton (ind./L) berdasarkan stasiun
pengamatan pada ekosistem mangrove Desa Kedung Malang,
Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara.  




Gambar 2.  Grafik kelimpahan rata-rata zooplankton (ind./L) berdasarkan waktu
pengamatan pada ekosistem mangrove Desa Kedung Malang,
Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara. 

 Berdasarkan hasil penelitian kelimpahan rata-rata zooplankton pada ekosistem
mangrove Desa Kedung Malang, Jepara menunjukkan bahwa genus Acartia
merupakan genus yang memiliki kelimpahan tertinggi (56.277-62.083 ind./l),
sedangkan genus yang memiliki kelimpahan terendah yaitu genus Cresies               
(0- 111 ind./l). Genus Acartia memiliki kelimpahan rata-rata tertinggi pada Stasiun 2,
sedangkan genus Cresies hanya terdapat pada Stasiun 2.
 Kelimpahan rata–rata zooplanton secara umum menunjukkan bahwa genus
yang memiliki kelimpahan tertinggi antara lain genus Acartia, Paracalanus,
Microsetella, Isopoda. Sementara itu genus yang memiliki kelimpahan terendah
antara lain Cresies, Canthocalanus, Pseudocalanus, Euterpina. Berdasarkan stasiun
pengamatan menunjukkan bahwa pada Stasiun I genus tertinggi yaitu Acartia,
Paracalanus, Isopoda, Microsetella, sedangkan yang terendah yaitu Cresies dan
Cathocalanus. Stasiun II genus tertinggi yaitu Acartia, Isopoda, Paracalanus, 



sementara itu genus yang terendah yaitu Cresies dan Pseudocalanus. Sementara itu
pada Stasiun III genus yang tertinggi yaitu Acartia dan Microsetella dan genus yang
terendah yaitu Cresies dan Pseudocalanus.

4.1.3.  Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Zooplankton 
  Nilai Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman dan Indeks Dominasi
dapat dilihat pada Tabel 6.  Secara umum Indeks Keanekaragaman zooplankton
berdasarkan lokasi penelitian tidak terdapat variasi dan termasuk dalam kategori
rendah dengan kisaran 1,33 - 1,97. Indeks Keanekaragaman pada Stasiun I berkisar
antara 1,33-1,97, Stasiun II berkisar 1,39- 1,82 dan Stasiun III berkisar antara 1,61-
1,88. Pada Stasiun I memiliki Indeks Keanekaragaman tertinggi yaitu 1,97 dan
terendah yaitu 1,33. 
Tabel 6.  Nilai dan kategori Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (e)
dan Indeks Dominasi (C) pada stasiun dan waktu sampling pada ekosistem
mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara.

Lokasi Minggu H' Kategori* E Kategori** (D) Kategori***
Stasiun
1
I  1,33  rendah  0,74  tinggi  0,25  TAD
II  1,38  rendah  0,71  tinggi  0,28  TAD
III  1,82  rendah  0,87  tinggi  0,12  TAD
IV  1,97  rendah  0,94  tinggi  0,05  TAD
Stasiun
2
I  1,56  rendah  0,87  tinggi  0,12  TAD
II  1,82  rendah  0,79  tinggi  0,20  TAD
III  1,61  sedang  0,89  tinggi  0,13  TAD
IV  1,39  rendah  0,77  tinggi  0,22  TAD
Stasiun
3
I  1,86  rendah  0,89  tinggi  0,10  TAD
II  1,79  rendah  0,92  tinggi  0,07  TAD
III  1,61  rendah  0,82  tinggi  0,17  TAD
IV  1,88  rendah  0,90  tinggi  0,09  TAD
Keterangan : AD : Ada dominasi  TAD : Tidak ada dominasi
  *: Prawiradilaga (2003)   **: Krebs (1985)  ***:Simpson (1949) 



 Sebaliknya secara keseluruhan berdasarkan lokasi penelitian dan waktu
pengamatan nilai Indeks Keseragaman termasuk dalam kategori tinggi dengan
kisaran antara 0,71-0,94 dan tidak terdapat variasi, dimana untuk Stasiun 1 berkisar
antara 0,71-0,94, pada Stasiun 2 berkisar antara 0,77-0,89. Sementara pada Stasiun 3
berkisar antara 0,82-0,92. Stasiun I memiliki Indeks Keseragaman tertinggi yaitu 0,94
pada Minggu IV dan terendah yaitu  0,71 pada Minggu II.
  Berdasarkan lokasi penelitian  dan waktu pengamatan secara umum
menunjukkan bahwa Indeks Dominansi tidak terdapat perbedaan yang signifikan dan
termasuk kedalam kategori tidak ada  dominansi dengan kisaran 0,05-0,28. Pada
Stasiun I memiliki Indeks Dominansi tertinggi yaitu 0,28 pada Minggu II dan
terendah yaitu 0,05 pada Minggu IV.

4.1.4. Indeks Kesamaan Komunitas
  Nilai Indeks Kesamaan Komunitas pada lokasi penelitian termasuk pada
kategori tinggi hingga sangat tinggi (Tabel 7). Nilai indeks tertinggi adalah pada
Stasiun I dengan Stasiun III sedangkan indeks terendah pada Stasiun I dengan Stasiun
III.
Tabel 7.    Indeks Kesamaan Komunitas Zooplankton pada stasiun dan waktu
sampling pada ekosistem mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan
Kedung, Kabupaten Jepara.

Lokasi  Stasiun I Stasiun II Stasiun III
Stasiun I 93.33% 88.88%
Stasiun II 94.73%
Stasiun III    
 



4.1.5.  Nilai Parameter Lingkungan
 Hasil pengukuran parameter lingkungan  selama penelitian disajikan pada
Tabel 8. Berdasarkan hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai parameter
lingkungan untuk nitrat, fosfat  dan DO terdapat variasi sedangkan untuk salinitas,
suhu, kedalaman, dan pH tidak berbeda jauh.
 Secara umum nilai salinitas berkisar antar 24-29 ppt, Stasiun 1 bernilai lebih
rendah (rata-rata 25,67 ppt) daripada Stasiun 2(26,56 ppt) dan Stasiun 3 (26,33 ppt).
Nilai kedalaman secara umum berkisar antara 0,3-0,6 m, Stasiun 1 cenderung lebih
dalam (rata-rata 0,48 m) dibanding Stasiun 2 (0,43 m) dan Stasiun 3 (0,39 m).
Tabel 8. Nilai rata-rata dan kisaran parameter lingkungan selama penelitian pada
ekosistem mangrove desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten
Jepara (n=3).

Parameter
Lingkungan
Stasiun 1  Stasiun 2  Stasiun 3
Salinitas (ppt)
25,67
(24,00 - 27,00)
26,56
(25,00 - 29,00)
26,33
 (25,00 - 28,00)
Kedalaman (m)
0,48
 (0,40 - 0,60)
0,43
 (0,40 - 0,50)
0,39
 (0,30 - 0,40)
Suhu (°C)
28,53
 (28,41 - 28,63) 
28,44
 (28,22 - 28,70)
27,20
 (26,61 - 27,59)
Ph
5,81
 (5,79 - 5,84)
5,79
(5,70 - 5,85)
5,77
 (5,69 - 5,86)
DO (mg/lt)
3,87
 (3,71 - 4,11 )
3,22
 (2,84 - 3,82)
2,72
2,15 - 2,87)
Nitrat N (NO3-N)
0,91
 (0,36 - 1,62)
0,72 
 (0,00 - 1,44)
0,68 
 (0,00 - 1,10)
Fosfat  (PO4)  0,51 
 (0,34 - 0,69)
0,69 
 (0,54 - 0,84)
0,55
 (0,29 - 0,82 ) 




 Nilai Suhu perairan secara umum tidak berbeda jauh antar stasiun berkisar
antara 26,61-28,70 °C, Stasiun 1 memiliki suhu rata-rata 28,53 °C, Stasiun 2 28,44
°C dan Stasiun 3 27,20 °C. Nilai kisaran pH perairan secara umum tidak berbeda jauh
antar stasiun berkisar antara 5,69-5,86, Stasiun 1 memilki pH rata-rata 5,81, Stasiun 2
(5,79) dan  Stasiun 3 (5,77). Nilai kandungan oksigen terlarut secara umum berkisar
antara 2,15-4,11mg/l, Stasiun 1 memilki kandungan oksigen terlarut lebih tinggi (3,87
mg/l) dibandingkan Stasiun 2 (3,22 mg/l) dan Stasiun 3 (2,72 mg/l). 
 Berdasarkan hasil pengukuran menunjukkan kandungan nitrat perairan secara
umum berkisar antara 0,00-1,62 mg/l, Stasiun 1 memilki nilai lebih tinggi (0,91
mg/lt) daripada Stasiun 2 antara (0,72 mg/l) dan Stasiun 3 (0,68 mg/l). Sedangkan
hasil pengukuran kandungan fosfat  perairan secara umum berkisar antara 0,29-0,84
mg/l, Stasiun 1 memilki nilai lebih rendah (0,51 mg/l) dibanding Stasiun 2 (0,69
mg/l) dan Stasiun 3 antara (0,55 mg/l).

4.2. Pembahasan 
4.2.1. Komposisi Zooplankton
Berdasarkan hasil penelitian di daerah ekosistem mangrove Kedung Malang
Jepara ditemukan 11 genus zooplankton yang termasuk ke dalam 2 filum yaitu
Acartia, Cathocalanus, Euchaeta, Euterpina, Microsetella, Calanus, Paracalanus,
Pseudocalanus, Eucalanus, Isopoda (Arthropoda) dan Creseis (Moluska). Hasil ini
hampir sama dengan yang ditemukan di lokasi Teluk Awur Jepara yaitu 11 genus
tetapi dari 4 filum (Aji, 2009), namun jauh lebih sedikit dibanding hasil penelitian 



yang dilakukan di Segara Anakan Cilacap (Nugroho, 2005) dan di muara Sungai
Silandak, Semarang (Fauziyah, 2009) yang masing-masing menemukan 36 genus dari
5 filum dan 35 genus dari 7 filum. Persamaan jumlah genus antara penelitian ini
dengan Teluk Awur Jepara antara lain dimungkinkan  karena posisi pantai Teluk
Awur dan Kedung Malang masih dalam satu garis dan memiliki pasang surut yang
kurang lebih sama. Selain itu, persamaan metode pengambilan sampel air yaitu
metode pasif. Sementara itu, perbedaan jumlah genus antara  penelitian ini dengan
Segara Anakan Cilacap dan muara Sungai Silandak diduga selain karena perbedaan
lokasi, metode pengambilan sampel juga periode sampling, dan kondisi lingkungan.
Posisi Segara Anakan Cilacap yang terletak di pantai selatan  Jawa, serta meskipun
muara sungai Silandak yang juga terdapat di pantai utara Jawa akan tetapi jaraknya
jauh dengan Kedung Malang dan dimungkinkan memiliki rezim pasang surut yang
berbeda diduga mempengaruhi perbedaan jumlah genus yang ditemukan. Dalam
penelitian yang dilakukan di Segara Anakan dan muara Sungai Silandak metode
pengambilan sampel yang digunakan adalah metode aktif, dan periode pengambilan
sampelnya dilakukan lebih lama yaitu 4 bulan dan 3 bulan. Selain itu, penelitian yang
dilakukan di muara sungai Silandak Semarang juga ada variasi dalam waktu
pengambilan sampel yaitu dengan mengambil  pada saat pasang dan surut. Kondisi
mangrove di daerah Kedung Malang termasuk dalam keadaan rusak, berbeda dengan
mangrove di Segara Anakan yang masih relatif baik, dimana masih ditemukan 26
spesies dari 15 filum (Pamungkas, 2003),  sementara di Kedung Malang 5 spesies
(Handayani, 2009). Hal ini ,dimungkinkan karena Segara Anakan merupakan laguna
tempat bermuara beberapa sungai seperti sungai Cimeneng, Cibereum, Cikonde, serta 



sungai Citanduy (BPKSA, 2003). Begitu juga mangrove di Sungai Silandak
Semarang secara umum juga masih dalam  kondisi lebih baik dibanding di Kedung
Malang Jepara walaupun hanya ditemukan  4 spesies  (Putri, 2010).  
Arthropoda merupakan filum dengan  jumlah genus yang paling banyak yaitu
10 genera. Hal tersebut senada dengan penelitian di Teluk Awur Jepara (Aji, 2009),
Segara Anakan Cilacap (Nugroho, 2005), dan muara sungai Silandak Semarang
(Fauziyah, 2009) yang juga menemukan  Arthropoda sebagai filum yang paling
dominan. Hal ini juga sesuai dengan  pendapat Nybakken (1988), bahwa sebagian
besar organisme dari zooplankton  yang mendominasi di semua perairan laut adalah
anggota filum Arthropoda kelas Crustacea  (terutama subkelas Copepoda). Lebih
lanjut Wickstead (1976) menambahkan bahwa Copepoda mendominasi populasi
zooplankton di perairan laut dengan persentase berkisar antara 50%-80% dari total
biomasa zooplankton yang ada, dan sebagian besar diantaranya bersifat omnivora dan
merupakan penghubung mata rantai antara  fitoplankton dan ikan dalam rantai
makanan. Bahkan menurut Sachlan (1982) subkelas Copepoda bukan hanya
merupakan zooplankton yang umum hidup di air laut tapi juga di air tawar.
Berdasarkan hasil penelitian jumlah genus yang ditemukan pada masing-
masing stasiun menunjukkan adanya variasi, hal ini diduga karena adanya perubahan
lingkungan perairan yang menyebabkan zooplankton tidak mampu beradaptasi
terhadap perubahan tersebut. Hal ini sesuai pernyataan Hendrik (1984) yaitu
ketersediaan makanan, kompetisi antar  sesama, serta adanya interaksi dengan
lingkungan menyebabkan jumlah tiap jenis berbeda-beda. Sementara itu berdasarkan
periode sampling tidak ada variasi yang mencolok (Tabel 3), hal ini diduga karena 



parameter lingkungan di semua lokasi pada kurun waktu tersebut relatif  tidak jauh
berbeda (Tabel 7). Demikian juga dengan pasang surut  dan curah hujan pada jangka
waktu tersebut yang juga tidak ada perbedaan yang cukup signifikan (Lampiran 8). 
Acartia merupakan genus yang paling sering ditemukan diikuti Paracalanus,
Microsetella, dan Isopoda. Acartia dan Paracalanus merupakan genus yang hampir
ditemukan di semua lokasi penelitian. Menurut Russel (1939)  dalam Raymont
(1963), kedua genus tersebut memiliki distribusi yang luas dan mempunyai
kemampuan adaptasi terhadap perubahan  kondisi perairan. Selain itu Acartia
memiliki sifat yang omnivora sehingga mampu beradaptasi pada berbagai kondisi
perairan yang memiliki berbagai macam fitoplankton maupun zooplankton yang
ukurannya lebih kecil sebagai makanan (Todd et al.,1991). Menurut Marshall dan Orr
(1955)  dalam Kinne (1982)  Paracalanus mempunyai  daerah distribusi yang sangat
luas serta mempunyai kemampuan hidup dengan baik pada salinitas yang berbeda-
beda.

4.2.2.   Kelimpahan Zooplankton
Secara keseluruhan kelimpahan rata-rata zooplankton di lokasi penelitian adalah
145.147 ind./l (Tabel 4) sedikit lebih rendah dibanding kelimpahan  rata-rata di
Segara Anakan Cilacap yaitu 158.920 ind./l (Nugroho, 2005) dan di muara Sungai
Silandak Semarang yaitu 181.746 ind./l (Fauziyah, 2009) . Perbedaan kelimpahan
dimungkinkan disebabkan oleh perbedaan metode pengambilan sampel air, periode
sampling, dan kondisi lingkungan seperti yang di jelaskan di sub bab sebelumnya
(4.2.1.).  Dalam penelitian Nugroho (2005) dan Fauziyah (2009) pengambilan sampel 



zooplankton menggunakan metode aktif yaitu dengan melakukan pengambilan
zooplankton menggunakan planktonnet secara horizontal dan ditarik dengan perahu,
serta periode samplingnya lebih lama yaitu 4 bulan dan 3 bulan. Nugroho (2005) juga
menjelaskan dalam penelitiannya penarikan planktonnet dilakukan selama 15 menit
dengan kecepatan yang relatif tetap yaitu 5 km/jam.
Kelimpahan rata- rata zooplankton tertinggi terdapat pada Stasiun 3 (159.832
ind/l) dan terendah terdapat pada Stasiun 2 (126.638 ind./l). Secara umum
berdasarkan kelimpahan rata-rata menunjukkan bahwa tingkat kesuburan perairan di
semua lokasi termasuk kategori tinggi (Muzakki, 2003). Tingginya  kelimpahan ini
dimungkinkan karena tipe vegetasi dan kerapatan di Stasiun 3 yang berbeda dengan
stasiun lainnya. Stasiun 3 memiliki tipe vegetasi  Rhizophora mucronata dengan
kerapatan tinggi, sedangkan pada stasiun 1 memiliki tipe vegetasi  Rhizophora
mucronata dengan kerapatan jarang dan Stasiun 2 memiliki tipe vegetasi Cyperus sp.
dengan kerapatan tinggi (Lampiran 5). Secara umum pada vegetasi mangrove yang
memiliki kerapatan tinggi cenderung menghasilkan serasah daun yang
terdekomposisi dan memiliki bahan organik yang lebih tinggi (Boonruang, 1984).
Lebih lanjut Saparinto (2007) menjelaskan sumber utama bahan organik di perairan
hutan mangrove adalah serasah yang dihasilkan oleh tumbuhan mangrove (daun,
buah, ranting, dan lain sebagainya), namun dari total produksi daun tersebut hanya
5% yang dikonsumsi langsung oleh hewan-hewan terestrial, sedangkan sisanya (95%)
masuk ke lingkungan perairan sebagai debris atau serasah daun, sehingga hutan
mangrove mempunyai kandungan bahan organik yang sangat tinggi. Hasil 



dekomposisi berupa bahan anorganik akan dipakai fitoplankton untuk
perkembangannya, kemudian fitoplankton dimangsa zooplankton  (Odum, 1982). 
Tingginya kelimpahan zooplankton pada Stasiun 3 juga diduga karena
ketersedian kolom air dan adanya persaingan. Ketersediaan kolom air di Stasiun 3
lebih banyak dari pada Stasiun 2 dimungkinkan karena  Rhizophora mucronata
memiliki rongga – rongga disela akar yang lebih lebar sehingga dapat menampung
volume air yang lebih banyak. Selain itu,  Cyperus sp. memiliki kerapatan yang lebih
tinggi dibanding  Rhizopora mucronata, sehingga perifiton yang menempel lebih
banyak. Perifiton yang menempel di Cyperus sp. seperti Biddulphia, Coscinudiscus,
dan Streptotheca diduga sebagai kompetitor yang mempengaruhi kelimpahan di
Stasiun 2. 
Terkait peranannya dalam jaring-jaring makanan keberadaan zooplankton
dianggap sangat penting karena dapat mempengaruhi biota lainnya. Hal ini terbukti
bahwa tingginya kelimpahan zooplankton di Stasiun 3 sejalan  dengan penelitian
fitoplankton (Wibisono, 2010) dan gastropoda (Hidayatullah, 2010) yang dilakukan
pada lokasi dan waktu yang sama. Kelimpahan fitoplankton dimungkinkan karena
memiliki hubungan secara langsung dengan zooplankton yaitu sebagai makanannya.
Hal ini dijelaskan  oleh Davis (1995), Arinardi (1997) yang menyatakan bahwa
kelimpahan zooplankton sangat tergantung  pada banyaknya fitoplankton, karena
merupakan makanan bagi zooplankton. Sementara itu kelimpahan gastropoda diduga
karena zooplankton merupakan makanannya. Sementara itu sebaliknya kelimpahan
Crustacea (Krisaprilia, 2010) dan perifiton  (Taufik, 2010)  di Stasiun 2 lebih tinggi
dibanding Stasiun 3. Tidak diketahui secara pasti yang menyebabkan perbedaan 



tersebut, namun diduga karena Crustacea memiliki mobilitas yang tinggi dan
zooplankton bukan merupakan makanan langsung dari Crustacea. Sementara itu
kelimpahan perifiton bukan karena ada atau tidaknya hubungan dengan zooplankton,
akan tetapi diduga karena perbedaan tipe  vegetasi dan kerapatannya dimana sifat
perifiton yang menempel pada suatu permukaan substrat maka semakin luas atau
rapat substratnya akaan lebih tinggi kelimpahannya.  
Meskipun sudah dijelaskan bahwa secara umum tidak ada perbedaan yang
signifikan antara waktu pengamatan, namun  bila dilihat dari variasi pada masing-
masing stasiun terdapat sedikit perbedaan, dimana pada Stasiun 1 kelimpahan
tertinggi terdapat pada Minggu  III dan terendah terdapat pada Minggu I. Sebaliknya
pada Stasiun 3 kelimpahan tertinggi justru terdapat pada Minggu I  dan terendah
terdapat pada Minggu III. Tidak diketahui secara pasti yang menyebabkan perbedaan
kelimpahan tersebut karena bila dilihat dari parameter lingkungan yang ada tidak
terdapat perbedan yang signifikan (Tabel 7), kecuali nitrat dan fosfat. Dimana kadar 
nitrat dan fosfat pada Stasiun 1, Minggu III    (1,62 mg/l dan 061 mg/l) lebih tinggi
dibanding Minggu I (0,77 mg/l dan           0,34 mg/l), sedangkan untuk Stasiun 3,
Minggu I (1,00 mg/l dan 0,44 mg/l) lebih tinggi daripada Minggu III (0,62 mg/l dan
0,82 mg/l ). Kandungan nitrat dan fosfat memang tidak secara langsung berpengaruh
terhadap kelimpahan zooplankton, tetapi berpengaruh terhadap kesuburan perairan
yang berkaitan dengan kehidupan fitoplankton. Zooplankton umumnya memperoleh
fosfat organik dan anorganik dengan memangsa fitoplankton (Tait, 1981). Namun
menurut data pasang surut (BMKG) pada Stasiun 1 dan Stasiun 3 tidak berpengaruh
terhadap kelimpahan zooplankton. 



Variasi  kelimpahan zooplankton mungkin juga disebabkan oleh oleh faktor 
individual dari masing – masing genus zooplankton itu sendiri. Perubahan
kelimpahan zooplankton tersebut diduga  berkaitan erat dengan siklus hidup dan
predasi. Hal ini dijelaskan oleh Perkins (1974); Bougis (1976); Kennis (1990);
Raymont (1963); dan Arinardi  et al. (1996) yang menyatakan bahwa kelimpahan
zooplankton tersebut berkaitan erat dengan siklus hidup dan pemangsaan oleh
predator. 
Genus Acartia merupakan anggota dari subkelas Copepoda yang ditemukan di
hampir semua lokasi penelitian dan memilki kelimpahan yang paling tinggi. Hal
tersebut diduga karena genus ini memiliki distribusi yang luas dan mempunyai
kemampuan adaptasi yang baik terhadap  perubahan-perubahan parameter perairan
(Raymont, 1963). Acartia juga memiliki sifat omnivora sehingga mampu beradaptasi
pada berbagai kondisi perairan yang memiliki berbagai macam fitoplankton, atau
zooplankton yang ukurannya lebih kecil   (Todd et  al., 1991).

4.2.3.    Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi
Tabel 5  menunjukkan bahwa secara umum  nilai Indeks Keanekaragaman
berdasarkan stasiun dan waktu pengamatan termasuk ke dalam kategori rendah (1,33-
1,97). Hal ini berbeda  dengan perairan di Segara Anakan Cilacap yang termasuk
kedalam kategori sedang (1,48- 2,59) (Nugroho, 2005) dan juga di muara Sungai
Silandak yang juga sedang (2,06 -2,91) (Fauziyah, 2009) tapi  sedikit lebih tinggi
dibanding dengan perairan Teluk Awur  Jepara yang termasuk kedalam kategori
sangat rendah (0,29-0,34) (Aji, 2009). Perbedaan ini dimungkinkan karena 



kelimpahan zooplankton Kedung Malang   ( 144.666 ind/l) yang lebih rendah
dibanding  Segara Anakan Cilacap (158.920 ind/l) dan muara Sungai Silandak
(181.746 ind./l) tapi lebih tinggi dari Teluk Awur Jepara               ( 100.666 ind./l).
Indeks Keanekaragaman dalam kategori rendah dimungkinkan kelimpahan
individu dari masing-masing spesies tidak merata. Hal ini dijelaskan oleh    Arinardi
et al. (1996) yang menyatakan bahwa rendanya nilai Indeks Keanekaragaman
disebabkan oleh kelimpahan individu dari masing-masing spesies tidak merata, dalam
arti ada jenis tertentu yang memiliki kelimpahan yang relatif lebih tinggi dibanding
jenis yang lainnya. Secara umum Indeks Keanekaragamannya sama di semua lokasi
yaitu termasuk kategori rendah, hal ini diduga karena kondisi  parameter perairan
yang tidak begitu berbeda. Berdasarkan hasil pengukuran menunjukkan bahwa pH,
suhu, salinitas dan kedalaman di ketiga lokasi penelitian tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata. Ada dugaan lain yaitu jarak antar lokasi yang tidak berjauhan
karena jarak antar lokasi satu dengan yang lainnya kurang lebih antara 10-15 m dan
agak tertutup karena tidak berhubungan langsung dengan laut. Selain itu juga terdapat
sungai yang juga diduga dapat menyebabkan rendahnya keanekaragaman. Hal ini
disebabkan karena adanya air sungai yang masuk kedalam lokasi penelitian dan akan
berpengaruh terhadap perubahan salinitas. Salinitas merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi komposisi kelimpahan dan struktur komunitas zooplankton di muara
sungai (Arinardi et al., 1994, 1996; Zainuri , 1999).
Menurut Odum (1993) Keanekaragaman jenis dalam suatu hubungan dikatakan
rendah jika penyebarannya tidak merata dan  terdapat jenis tertentu yang ditemukan
dalam jumlah melimpah namun ada jenis tertentu yang jarang ditemukan. Sebaliknya 



Keanekaragaman yang tinggi diduga berkaitan dengan kemampuan sejumlah spesies
untuk memanfaatkan dan bertoleransi terhadap faktor fisika dan kimia perairan,
sehingga produktivitas cukup tinggi sedangkan keanekaragaman yang rendah diduga
karena tidak mampu bersaing dengan biota yang lebih adaptif (Odum, 1993).
Nilai Indeks Keseragaman secara umum  berdasarkan lokasi penelitian dan
waktu pengamatan termasuk ke dalam kategori tinggi (0,71-0,94) (Tabel 5). Nilai
tersebut sama dengan nilai Indeks Keseragaman di muara sungai Silandak Semarang
yang juga termasuk dalam kategori tinggi (0,80-0,85) (Fauziyah, 2009). Nilai tersebut
berbeda dengan perairan Segara Anakan Cilacap yang termasuk dalam  kategori
sedang hingga tinggi (0,31-0,79) (Nugroho, 2005) tapi lebih tinggi dibanding perairan
Teluk Awur Jepara yang termasuk dalam kategori rendah (Aji, 2009). Perbedaan ini
dimungkinkan oleh jumlah genus yang berbeda. Pada perairan di Segara Anakan
Cilacap jumlah genusnya lebih tinggi dan di Teluk Awur Jepara lebih rendah
dibandingkan dengan Kedung Malang Jepara.
Indeks Keseragaman di lokasi penelitian dalam kategori tinggi, hal ini
menunjukkan jenis dan jumlah individu dalam suatu perairan hampir sama dan tidak
ada dominasi oleh jenis-jenis tertentu. Tingginya nilai yang didapatkan diduga karena
daerah penelitian zooplankton saling berdekatan. Sesuai yang dijelaskan oleh Odum
(1993) bahwa semakin besar Indeks  Keseragaman dalam suatu komunitas
menunjukkan jumlah individu setiap jenis hampir sama.
Nilai Indeks Dominansi zooplankton pada semua lokasi menyatakan tidak ada
dominansi. Nilai tersebut sama dengan Indeks Dominansi di perairan Segara Anakan
Cilacap yang menunjukkan kategori tidak ada dominansi (0,10-0,66) (Nugroho, 



2005). Berbeda jauh dengan Indeks Dominansi di perairan Teluk awur Jepara yang
menunjukkan ada dominansi (0,61-0,84) (Aji, 2009). Perbedaan ini dimungkinkan
oleh nilai Indeks Keseragaman yang berbeda. Hal ini diduga karena nilai Indeks
Keseragaman berbanding terbalik dengan  Indeks Dominansi.  Tidak adanya
dominansi dimungkinkan karena nilai keseragaman di setiap stasiun tinggi, sehingga
tidak terdapat dominansi. Hal ini diduga karena nilai Indeks Keseragaman berbanding
terbalik dengan Indeks Dominansi. Odum (1993) menyatakan bahwa semakin rendah
nilai indeks keseragaman maka jumlah genus dalam suatu perairan tidak sama dan
terdapat dominasi oleh genus-genus tertentu. Jika semakin tinggi indeks keseragaman
maka jenis dan jumlah individu dalam suatu perairan hampir sama dan tidak terdapat
dominasi oleh genus tertentu.

4.2.4.  Indeks Kesamaan Komunitas
Indeks Kesamaan Komunitas zooplankton di ketiga lokasi sebesar 88,88% -
94,73% (Tabel 6) dan termasuk dalam kategori tinggi. Nilai tersebut  sama dengan
Segara Anakan Cilacap (85%-97,78%) (Nugroho, 2005) dan Teluk Awur Jepara
(70,59%-94,74%). Tingginya Indeks Kesamaan diduga karena zooplankton media
distribusinya berupa  air dimana rezim  pasang surut dan dinamika hidrologis yang
masih dalam satu kawasan hampir sama, sehingga memiliki komposisi zooplankton
yang tidak jauh berbeda pula.
Krebs (1985) menyatakan bahwa kesamaan antara kedua komunitas
dipengaruhi oleh jumlah jenis di kedua lokasi tersebut dan jumlah jenis yang sama
yang ditentukan di kedua lokasi tersebut. Indeks Kesamaan tertinggi ditunjukkan 



antara Stasiun 2 dan Stasiun 3 sebesar 94,73% dan terendah antara Stasiun 1 dan
Stasiun 3 sebesar 88,88%. Tingginya nilai pada Stasiun 2 dan stasiun 3 diduga karena
letak antara kedua lokasi saling berdekatan dan hampir sama nilai parameter
lingkungannya.


















 



V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Ditemukan 11 genus zooplankton di ekosistem mangrove Desa Kedung
Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara yang termasuk dalam 2 filum yaitu
Acartia, Cathocalanus, Euchaeta, Euterpina, Microsetella, Calanus, Paracalanus,
Pseudocalanus, Eucalanus, dan  Isopoda (Arthropoda) dan Creseis ( Moluska). Genus
yang sering ditemukan di  semua stasiun pengambilan sampel adalah genus Acartia
diikuti Paracalanus, Microsetella, dan Isopoda.
Secara umum berdasarkan kelimpahan zooplankton pada semua stasiun 
kesuburan perairannya termasuk kategori tinggi. Kelimpahan zooplankton
berdasarkan stasiun penelitian kelimpahan  tertinggi  terdapat  pada   Rhizophora
mucronata dengan kerapatan tinggi yaitu   sebesar 159.832 ind/l, sedangkan
kelimpahan terendah pada Rhizophora mucronata kerapatan rendah yang berasosiasi
dengan rumput Cyperus sp sebesar 126.638 ind/l.
Nilai Indeks Keanekaragaman berkisar antara 1,33-1,97 dan masuk dalam
kategori rendah. Indeks Keseragaman berkisar antara 0,71-0,94  termasuk kategori
tinggi. Indeks Dominansi berkisar antara 0,07-0,28, hal tersebut menunjukkan tidak
terdapat genus yang mendominasi. Indek  Kesamaan Komunitas berkisar antara
88,88%-94,73% termasuk kategori tinggi. Parameter lingkungan di semua stasiun
hampir sama.

 




5.2.  Saran
Perlunya penelitian lebih lanjut mengenai struktur komunitas zooplankton di
daerah ekosistem mangrove desa Kedung Malang, Jepara pada musim yang berbeda
dan dalam jangka waktu yang lebih lama serta dengan memperbanyak lokasi
pengambilan zooplankton sehingga di dapatkan informasi yang lebih lengkap.    




























 



DAFTAR PUSTAKA

Aji, C.B. 2009. Struktur Komunitas Zooplankton Pada Kawasan Vegetasi Mangrove
Teluk Awur, Jepara. (Skripsi). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Diponegoro, Semarang, 57 hlm.

APHA ( American Public Health Association). 1995. Standart Methods for the
examination of water and waste water. 17 th
 ed. APHA AWWA ( American
water works association) and WPCF  ( Water Pollution Control Federation)
Washington DC. 1527 pp. 

Arikunto, S. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.  Rhineka Cipta.
Jakarta. 337 hlm.

Arinardi, O.H, Trimaningsih, S.H. Riyono, E. Asnaryanti. 1994. Pengantar Tentang
Plankton Serta kisaran Kelimpahan dan Plankton Predominan di sekitar Pulau
Jawa dan Bali. LP3O- LIPI. Jakarta : 113 hlm.

Arinardi, O.H., Trimaningsih, S.H. Riyono, E. Asnaryanti. 1996. Kisaran Kelimpahan
dan Komposisi Plankton Di Kawasan  Timur Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta. 93 hlm.

Arinardi, O.H., Trimaningsih; S.H. Riyono. 1997. Kisaran Kelimpahan dan
Komposisi Plankton Predominan Di Kawasan Timur Indonesia. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta. 139 hlm.

Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan. 2007. Monitoring Lingkungan Kawasan
Segara Anakan. Pemerintah Kabupaten Cilacap. Cilacap. 58 hlm

Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.

Boonruang,P. 1984. The Rrate of Degrasdation of Mangrove Leaves, Rhizopora
apiculata and Avicenia marina vierth at Phuket island, Western Peninsular off
Thailand. Proch. As. Symp. Env-res & Manage. Hlm 200- 208.

Bougis, P. 1976. Marine Pankton Ecology. North- Holand publishing Co. Amstedam.
355 pp.

Cahyono, Heru. 2006. Studi Kelimpahan dan  Komposisi Zooplankton di Daerah
Plawangan Barat dan Majingklak Segara Anakan Cilacap. (Skripsi). Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang, 63 hlm. 
 



Davis, C.C. 1995. The Marine and Fresh Water Plankton. Michigan State University
Press. USA. 20p

Dawson, J.K. 1979. Pollution Ecology of Estuarine Environment. E.W. hart and
Samuel C.H.(Ed). Academic Press. London.

Dawes, C. J. 1981. Marine Botany. John Wiley and John, Inc. New York. 628 pp.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Pedoman Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Dinas Kelautan dan Perikanan. 2006. Penyusunan Rencana Tata Ruang Laut Pesisir
dan Pulau – Pulau Kecil kabupaten Jepara. Direktorat Jenderal Kelautan dan
Pulau – Pulau kecil Satker Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa
Tengah. Semarang.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta. 50 -161 hlm.

FAO. 1994. Mangrove Forest Management Guidelines. Rome: FAO Forestry Paper.
198 hlm.

Giesbreaht, W. 1892. Systematic und Faunistik der Pelagischen Copepoden des
Golfes von Neapel. Zoologischen Stasion zu Neapel. Berlin.

Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan
Pantai. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 23(1). 17 hlm.

Gunawati, I. 1984. Pengaruh Pembusukan Kelampis Air (Mimodsa digra) Terhadap
Kuantitas dan Kualitas Plankton. Karya  Ilmiah. Fakultas Perikanan, Institut
Pertanian Bogor, Bogor. 98 hlm. 

Hadi,S. 2004. Statistik. Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. Ygyakarta. 80
hlm.

Handayani,N.S. 2009. Struktur Komunitas Vegetasi Mangrove Dan Laju Sedimentasi
Di Kawasan mangrove Kedung Malang,  Surodadi, Dan Semat Kabupaten
Jepara, Jawa Tengah. (Skripsi). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Diponegoro, Semarang, 120 hlm.

Heath, A.G. 1987. Water Pollution and Fish Physiology. CRC Press, Inc, Boca.

Hogarth, P.J. 2007. The Biology of Mangrove; Oxford University Press. Inc. New
York. 228 pp.
 



Hutabarat, S dan S.M. Evans. 1986. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia
Press, Jakarta.

Jackson, G.A. 1986. Interaction of Physical and Biological Process in The Statement
of Planktonic Larvae. Bulletin of Marine Science 39 (2), 202-211.

Kaswadji, R. F, F. Widjaya dan Y. Wardiatno. 1993. Produktivitas Primer dan Laju
Pertumbuhan Fitoplankton di Perairan Pantai Bekasi. Jurnal Ilmu – Ilmu
Perairan dan Perikanan Indonesia. Jakarta. 25 hlm.

Kennish, M.J. 1990. Ecology of estuary. Biologycal Aspects. Vol:2. CRC Press,
Boston. 391 pp.

Khazali, M. 1999. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat.
Wetland International – Indonesia Programme. Bogor, Indonesia.

Krebs C.J. 1985. Ecological Methodology. New York: Harper Collins Publishers.

Lovelock, C. 1993. Field Guide to the Mangroves of Queensland. Australian Institute
of Marine Science. 48 hlm.

Mac Nae. 1968. A General Account of The Fauna and Flora of Mangrove Swamp in
The Indo-West Pasific Region. Adv. Mar. Biol. Vol. 6 : 73-270.

Meadows, P.S. dan J.I. Campbell. 1993. An introduction to Marine Science. Blackie
Academic and Professional, Glasgow, 283 pp

Millero, F. J. and M. L. Sohn. 1992. Chemical Oceanography. CRC Press, London.
Pp 323-345.

Muzakki, A.M. 2003. Studi Komposisi dan Kelimpahan Zooplankton di Waduk
Bening Kecamatan Saradan Kabupaten Madiun Propinsi Jawa Timur. Laporan
Praktek Kerja Lapang Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan
Universitas Brawijaya. Malang.

Newell, GE. and R.C. Newell. 1977. Marine Plankton : A Practical Guide. Hutchison.

Ng, P.K.L. and N. Sivasothi E. D. 2001.  A Guide to Mangroves of Singapore.
Volume 1: The Ecosystem and Plant  Diversity and Volume 2: Animal
Diversity. Singapore: The Singapore Science Centre. 343 hlm.

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. 70 – 120 hlm.

Noor, Y. R., Khazali, M., Suryadiputra, I. N. N. 1999. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP, Bogor. 220 hal. 




Nugroho, Endy. 2005. Struktur Komunitas Zooplankton di Perairan Plawangan Barat
dan Majingklak Segara Anakan Cilacap. (Skripsi). Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang, 73 hlm.

Nybakken, J.W.1988. Marine Biology : An  Ecological Approach. PT. Gramedia
Jakarta. (Diterjemahkan Oleh Muhammad Eidman, dkk). 459 hlm.

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi (Diterjemahkan). PT.
Gramedia, Jakarta. 36 – 85 hlm.

Odum. 1993. Fundamental of Ecology. W.B. Souders Company. Toronto. 577 pp.

Omori. M dan T. Ikeda. 1984. Methods in Marine Zooplankton Ecology. John Willey
and Sons. A Willey Intercine. New York. 332 Hal. 

Plaziat, J. C. 1984. Molluska Distribution in The Mangal. Hydrobiology of The
Mangal. In : Por, F. D. and Dor, I (Eds). Dr. W. Junk Publisher, The Hague.
Boston. Pp : 111-143.

Pieoleu, E.C. 1975. Ecological Diversity. John Wiley and Sons. Inc. New York.

Pramudji. 2001. Ekosistem Hutan Mangrove dan Peranannya Sebagai Habitat
Berbagai Fauna Aquatik. Oseana. Volume XXVI (4) :13 – 23. ISSN 0216 –
1877.

Prawiradilaga, D. M., A Suyanto, W. A. Noerdjito, A. Salim, Purwaningsih, I.
Rachmatika., S. Susiarti, I. shidiq, A. Marakarmah, M. H. Sinaga, E. Chalik,
Ismael, M. Maharani, Y. Purwanto,  E. B. Waluyo, 2003. Final Reporto n
Biodiversity of Tesso Nilo. Rersearch  Center for Biologi – SIPI and WWF
Indonesia. Jakarta. iv hlm.

Raymont, J. E. E. 1983. Plankton and Productivity in the Ocean. 2nd
 edition.
Pergamon Press, Oxford. 770 pp.

Romimohtarto, K dan S. Juwana. 1998. Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan Tentang
Biota Laut. LIPI. Jakarta.

Romimohtarto, K dan S. Juwana. 2004. Meroplankton Laut. Djambatan. Jakarta. 214
hlm.

Sachlan,M. 1982. Planktonologi. Directorat Jendral Perikanan, jakarta. 140 hlm.
 



Santoso, N., H.W. Arifin. 1998. Rehabilitas Hutan Mangrove Pada Jalur Hijau Di
Indonesia. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPP
Mangrove). Jakarta, Indonesia.

Saparinto, 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Dahara Prize. Semarang. 26-
33 hlm. 

Saputro, G. B., Sukardjo, S., Hartini, S., Niendyawati., Susanto., Sumarso., Edrus, I.
N., Maesarrah., Suhendra, D., Syah, C. 2009. Peta Mangrove Indonesia.
Bakosurtanal. 256 hlm. 

Sembiring, Kennedi. 2006. Studi Komunitas Zooplankton di Plawangan, Klaces, dan
Donan Laguna Segara Anakan Cilacap Periode Februari-Juni 2005. (Skripsi).
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang, 67
hlm.

Setyawan, A.D., A. Susilowati, dan  Wiryanto. 2002. Habitat Reliks Vegetasi
Mangrove di Pantai Selatan Jawa. Biodiversitas 3 (2): 242-256.

Singarimbun, S dan S, Efendi. 1982. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta, 93
hlm.

Smith, T.J. 1992. Forest Structure in: A.I. Robertson and Alongi, D.M. (Eds) Tropical
Mangrove Ecosystems. Washington D.C, pp 16 – 26.

Soedibjo, B.S. 2006. Struktur Komunitas Fitoplankton dan Hubungannya Dengan
Beberapa Parameter Lingkungan Di Perairan Teluk Jakarta. LIPI. Jakarta.

Suryabrata, S. 1983. Metodologi Penelitian. Rajawali Pers, Jakarta: 86 hal.

Tait,R.V. 1981. Element of Marine Ecology. An Introduction. Cambridge University
Press. New York. 356 pp.

Todd, C. D, M. S. Laverack, and G. A. Boxshall. 1991. Coastal Marine Zooplankton.
A Practical Manual For students ( Second Edition). Cambridge University
Press: pp.26-69.

Tomlinson, P.B. 1994. The Botany of mangrove. Cambridge University Press.
Cambridge, U.K. 419 hlm.

Walsh, G.E. 1974. Mangroves: A review. In Reinhold, R.J. and W.H. Queen. Ecology
of Halophytes. New York: Academic Press. 36 hlm.

Welch, P. S. 1952. Limnological Methods. Mc Grow-hill Book Company Inc. USA.
 



Wicktead, J.H. 1965. An Introduktion The  Tropical Planton. Hutchinson Tropical
Monographs. London. 160 pp.

Wicktead, J.H. 1976. Marine Zooplankton. Institute Of Biology Studies in Biologi.
London.

Zainuri, Muhammad. 1999. Perkembangan Struktur Komunitas dan Juvenil Ikan di
Padang Lamun Zostera marina berdasarkan Analisa Faktorial Korespondensi.
Ilmu Kelautan III ( 9 ) : 35-42, ISSN 0853-7291. Maret 1998.

Zainuri, M., Endrawati, H., Widianingsih dan Irwani, 2008. Produktivitas Biomassa
Copepoda di Perairan Demak. : Ilmu Kelautan 13 ( 1 ) : 19-24































 



Lampiran 1.  Kelimpahan rata-rata zooplankton (ind./l) dan kisarannya pada
Stasiun 1 di ekosistem mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan
Kedung, Kabupaten Jepara.
No.
   Stasiun 1
X
Minggu
Genus I II III IV
Arthropoda   
1 Acartia  48333 48444 76111 52222 56277
(44667-5200) (36667-56000) (68000-96000) (36667-72000)
2 Cathocalanus  0 0 0 0 0
3 Calanus 12222 24222 24222 0 15166
(0-20000) (0-32000) (4000-48667)
4 Euchaeta  8111 12000 20000 20000 15027
(0-16333) (0-24000) (0-32000) (4333-28000)
5 Euterpina  0 0 0 8111 2027
(0-12333)
6 Microsetella  4222 16222 28111 16222 16194
(0-8667) (0-28333) (20000-44000) (0-36333)
7 Paracalanus  8000 20000 20111 16111 16055
(0-16000) (12000-24000) (4000-44333) (0-44333)
8 Pseudocalanus  0 12222 0 0 3055
(4667-16000)
9 Eucalanus 0 20000 0 16111 9027
(0-36000) (4000-24000)
10 Isopoda  4111 20111 16000 24222 16111
(0-8333) (0-40000) (4000-48000) (0-44667)
Molusca
11 Creseis 0 0 0 0 0
  Jumlah 84999 173221 184555 152999
148943
  Rata-rata 148943
















 



Lampiran 2.  Kelimpahan rata-rata zooplankton (ind./l) pada Stasiun 2 di ekosistem
mangrove Desa Kedung Malang,  Kecamatan Kedung, Kabupaten
Jepara.
No. Genus
Stasiun 2
X
Minggu
I II III IV
Arthropoda
1 Acartia  72000 56111 64222 56889 62305
(56000-92000) (40333-68000) (44333-80000) (32000-72000)
2 Cathocalanus  8222 0 0 0 2055
(4000-16667)
3 Calanus 20111 0 0 0 5027
(0-32333)
4 Euchaeta  8000 12222 0 8222 7111
(0-24000) (4000-24667) (0-20667)
5 Euterpina  0 8222 0 0 2055
(4000-12667)
6 Microsetella  0 0 20111 12222 8083
(4333-44000) (0-28000)
7 Paracalanus  0 12111 20111 16111 12083
(4000-24333) (16000-24333) (0-36000)
8 Pseudocalanus  0 0 0 4000 1000
(0-8000)
9 Eucalanus 8222 12222 24222 8111 13194
(0-20667) (0-28000) (12667-40000) (0-24333)
10 Isopoda  16000 8000 8000 24222 14055
(0-28000) (0-28000) (0-20000) (12000-36000)
Molusca
11 Creseis 0 444 0 0 111
  Jumlah 132555 109332 136666 129777
127082
  Rata-rata 127082















 



Lampiran 3.  Kelimpahan rata-rata zooplankton (ind./l) pada Stasiun 2 di ekosistem
mangrove Desa Kedung Malang,  Kecamatan Kedung, Kabupaten
Jepara.

No. Genus
Stasiun 3
X
Minggu
I II III IV
Arthropoda
1 Acartia  68111 84111 32111 44222 57138
(52000-88333) (76000-100333) (12000-60000) (32000-64667)
2 Cathocalanus  0 12000 0 4000 4000
(0-36000) (0-12000)
3 Calanus 12222 24111 0 12000 12083
(0-32667) (8000-44000) (4000-24000)
4 Euchaeta  8000 12222 8000 24111 13083
(0-20111) (0-32667) (4000-16000) (4333-20667)
5 Euterpina  12000 4000 4000 0 5000
(0-28000) (0-12000) (0-12000)
6 Microsetella  24222 20222 12000 28222 21166
(8000-48667) (12000-28667) (0-28000) (16000-40667)
7 Paracalanus  32000 24222 8111 12333 19166
(16000-48000) (4000-40667) (4000-16000) (4333-20667)
8 Pseudocalanus  0 4000 4000 0 2000
(0-8000) (0-12000)
9 Eucalanus 16111 12111 12222 12000 13111
(0-28333) (4000-16333) (0-20667) (0-32000)
10 Isopoda  12000 12000 16222 12222 13111
(4000-20000) (0-24000) (0-28000) (4333-16333)
Molusca
11 Creseis 0 0 0 0 0
  Jumlah 184666 208999 96666 149110
159860
  Rata-rata 159860
    











 



Lampiran 4.  Gambaran secara umum lokasi penelitian pada ekosistem mangrove
Desa Kedung Malang, Kecamatan, Kedung, Kabupaten Jepara.


     
Stasiun 1  Stasiun 2
   
Stasiun 3 Sketsa Cyperus sp.
 
    Sketsa Rhizophora  sp.


 



Lampiran 5. Foto kegiatan penelitian struktur komunitas zooplankton di ekosistem
mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten
Jepara.

   




  










Pengidentifikasian sampel di 
laboratorium
Pencatatan data parameter perairan
Pengambilan data parameter
perairan
Pengambilan sampel dengan
plankton net 



Lampiran 6. Gambar beberapa genus zooplankton yang ditemukan di ekosistem
mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung, Kabupaten
Jepara

    

Acartia     Calanus 

    
Eucalanus Euchaeta

Paracalanus Pseudocalanus

 



Lampiran 6.   (Lanjutan). Gambar beberapa genus zooplankton yang ditemukan di
ekosistem mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung,
Kabupaten Jepara.
   
Microsetella    Euterpina

   
Isopoda  Creseis



















 



Lampiran 7.  Data pasang dan surut Kabupaten Jepara bulan Mei dan Juni 2009 












  























 






 



Lampiran 8. Data Curah Hujan Kabupaten Jepara bulan Mei dan Juni 2009

  









 



Lampiran 9.  Kelimpahan rata-rata fitoplankton (ind./l) pada Stasiun 1 di
ekosistem mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung,
Kabupaten Jepara.

 
Stasiun 1
 
 
Minggu

 

NO

Genus

I

II

III

IV 

X
I Bacillariophyceae
   
 
1 Chaetoceros 0 0 0 0

0
2 Coscinodiscus
40000
(30667-49333)
19556 
(16000-29333)
16000
(8000-22667)
16889
(10667-28000) 
23111
3 Euchampia 0 0 0
444
(0-1333) 
111
4 Fraggilaria
35111
(17333-50667)
14222
(2667-24000)
0
22222
(16000-30667) 
17889
5 Gyrosigma
24889
(13333-37333)
0 0
1333
(0-4000) 
6556
6 Hemialus
889
(0-1333)
1333
(0-4000)
1333
(0-4000)
1778
(1333-2667) 
1333
7 Pleurosigma
15111
(10667-22667)
0 0
12889
(10667-16000) 
7000
8 Skeletonema
42222
(28000-68000)
10667
(2667-26667)
9778
(1333-20000)
3556
(0-6667) 
16556
9 Strepthoteca
29333
(28000-32000)
0
22667
(12000-42667)
31556
(28000-34667) 
20889
10 Thalasionema
6222
(1333-9333)
0
16444
(12000-24000)
0

5667
11 Thalasiothrix
444
(0-1333)
444
(0-1333)
27556
(10667-38667)
0

7111
II Chlorophyceae
    
12 Pediastrum
444
(0-1333)
0 0
889
(0-2667) 
333
III Cyanophyceae
    
13 Oscillatoria
420889
(309333-601333)
122667
(92000-138667)
28889
(26667-32000)
65333
(53333-84000) 
159445
IV Dinophyceae
    
14 Ceratium
3111
(1333-6667)
4889
(1333-9333)
3556
(0-6667)
1333
(0-4000) 
3222
Jumlah  618667 173778 126223 158222

269223
Rata-rata  269223

  




Lampiran 10.  Kelimpahan rata-rata fitoplankton (ind/L) pada Stasiun 2 di
ekosistem mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung,
Kabupaten Jepara.
    Stasiun 2
  
 
Minggu 

 

NO

Genus

I

II

III

IV 

X
I Bacillariophyceae
   
 
1 Chaetoceros
5778
(4000-8000)
4444
(2667-6667)
4444
(2667-5333)
4444
(4000-5333) 
4778
2 Coscinodiscus
49333
(40000-61333)
21778
(16000-29333)
28444
(24000-37333)
34222
(18667-58667) 
33444
3 Euchampia  0 0 0
1778
(0-2667) 
445
4 Fraggilaria
33333
25333-45333)
112000
(58667-192000)
24000
(20000-306667)
32889
(22667-44000) 
50556
5 Gyrosigma
20000
(4000-38667)
2667
(1333-4000)
4000
(1333-6667)
1778
(0-4000) 
7111
6 Hemialus
2222
(0-6667)
0
889
(0-1333)
3111
(0-6667) 
1556
7 Pleurosigma
18667
(8000-36000)
100000
(41333-184000)
30222
(26667-34667)
15556
(10667-24000) 
41111
8 Skeletonema
28444
(14667-44000)
71556
(29333-93333)
14222
(4000-33333)
3556
(1333-8000) 
29445
9 Strepthoteca
19111
(12000-30667)
14222
(10667-16000)
14222
(12000-16000)
23111
(18667-25333) 
17667
10 Thalasionema
7556
(5333-10667)
0
7556
(4000-12000)
0

3778
11 Thalasiothrix
14222
(6667-24000)
0
11556
(2667-24000)
0

6445
II Chlorophyceae
    
12 Pediastrum  0 0 0
444
(0-1333) 
111
III Cyanophyceae
    
13 Oscillatoria 
224889
(153333-269333)
122222
(50667-245333)
42667
(21333-70667)
0

97445
IV Dinophyceae
    
14 Ceratium 
2222
(1333-4000)
1778
(0-4000)
2222
(0-5333)
0

1556
Jumlah   425777 450667 184444 120889

295444
Rata-rata  295444

  



Lampiran 11.  Kelimpahan rata-rata fitoplankton (ind/L) pada Stasiun 3 di
ekosistem mangrove Desa Kedung Malang, Kecamatan Kedung,
Kabupaten Jepara.
    Stasiun 3
     
 
Minggu 
     

NO

Genus

I

II

III

IV 

X  

Σ X
I Bacillariophyceae
   
1 Chaetoceros 0 0 0 0

0

1593
2 Coscinodiscus
19111
(12000-30667)
22222
(21333-24000)
25778
(6667-36000)
17778
(6667-25333) 
21222

25926
3 Euchampia  0 0 0
444
(0-1333) 
111

222
4 Fraggilaria
10222
(2667-14667)
6667
(0-18667)
12889
(10667-17333)
0

7445

25296
5 Gyrosigma
3111
(0-8000)
16444
(14667-17333)
2222
(1333-4000)
0

5444

6370
6 Hemialus 0 0
1333
(0-4000)
444
(0-1333) 
444

1111
7 Pleurosigma
18667
(2667-30667)
11111
(4000-16000)
11111
(9333-13333)
0

10222

19445
8 Skeletonema
13333
(8000-40000)
10222
(8000-12000)
4444
(2667-8000)
1778
(0-4000) 
7444

17815
9 Strepthoteca 0
27111
(17333-44000)
8889
(2667-16000)
0

9000

15852
10 Thalasionema
5778
(0-17333)
0
3111
(0-6667)
0

2222

3889
11 Thalasiothrix
444
(0-1333)
0
6222
(0-10667)
0

1667

5074
II Chlorophyceae
      
12 Pediastrum  0 0 0 0

0

148
III Cyanophyceae
      
13 Oscillatoria 
209778
(125333-294667)
221333
(49333-
406667)
576000
(469333-696000)
0

251778

169556
IV Dinophyceae
      
14 Ceratium 
3556
(0-8000)
1333
(0-4000)
4000
(0-8000)
0

2222

2333
Jumlah   284000 316443 655999 20444

319222

294629
Rata-rata  319222
      



RIWAYAT HIDUP

Arizka Novianto  dilahirkan di Batang, Jawa Tengah pada
tanggal 10 November 1987. Penulis merupakan anak pertama
dari lima bersaudara, putra dari Bapak Busro dan Ibu Toifatun.
Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak di TK  
Bhayangkari Batang (1993-1994), pendidikan sekolah dasar di SD Proyonanggan IX
(1994-2000), kemudian lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP N 1 Batang
(2000-2003), dan lulus Sekolah Menengah Atas di SMA N 1 Batang (2003-2006).
Tahun 2006 penulis di terima di Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang melalui Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis pernah menjadi asisten praktikum Mata Kuliah
Planktonologi. Penulis juga telah menyelesaikan laporan Kuliah Kerja Lapangan
(KKL) dengan judul “Mangrove Information Center (MIC) Sebagai Hutan Ekowisata
dan Kawasan Konservasi Mangrove”. 
Sampai saat ini penulis masih tercatat sebagai mahasiswa Ilmu Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar